Setelah beberapa bulan dalam hubungan yang kaku dan dingin, akhirnya aku merasakan kehangatan dalam klinik kembali. Dr. Syantik dan mbak Ega membuat hari-hariku kian penuh warna. Dengan mbak Ega serasa aku punya adik perempuan. Kebiasaan mbak Ega yang kurang rapi dan cenderung berantakan, sama sekali tak membuatku jengah atau pun kesal berkepanjangan. Malah dengan senang hati, aku mau membereskan pakaiannya yang bergelantungan di gantungan, merapikan kamar tidur dan lainnya.
Itu tak lepas dari sikap mbak Ega yang manis dan juga sangat ringan tangan dalam pekerjaan. Ia tak segan-segan mencuci piring atau pun mengerjakan pembukuan dan lain halnya yang sebenarnya tidak ia lakukan pun juga tak apa-apa.
Dr. Syantik yang lagi ditimpa masalah percintaan, menjadikan kami sebagai keluarga kedua baginya. Kami selalu menyemangatinya dan juga memberinya dukungan. Kami tak peduli lagi tentang keluarganya.
Kami bertiga adalah formasi paling sempurna. Kami saling bersinergi dan saling mengisi. Aku sendiri berharap, kami akan bisa bersama-sama dalam jangka waktu yang lama. Harapan yang tentu saja tak mungkin. Aku tahu mbak Ega di klinik Kedung Kemiri hanya sementara. Nasibku sendiri semakin tidak jelas. Tak ada jaminan, pemilik baru nanti tak akan memberhentikanku.
Pergantian kepemilikan semakin nyata akan terjadi. Hari minggu ini aku, mbak Ega dan juga mbak Nissa akan menghadiri tasyakuran undangan dari dr. Puji Astutik. Dr. Syantik sendiri tidak bisa ikut, karena ada urusan keluarga yang tak bisa di tinggal. Dr. Syantik lagi tahap meloby keluarga besarnya untuk merayu kedua orang tuanya, agar menyetujui hubungannya dengan mas Soni.
Aku kemudian menceritakan kejadian dr. Puji Astutik dan ucapanku yang membuatnya tersinggung beberapa bulan yang lalu.
"Mbak Nissa, apa aku salah menanyakan siapa dia dan mau apa pada dr. Puji Astutik. Katanya dr. Syantik, aku ini kurang sopan dan kurang adab. Aku tak terima dibilang begitu," protesku masih tak mau disalahkan dengan kejadian beberapa bulan yang lalu itu.
Mbak Nissa tersenyum tipis. "Baginya memang kurang sopan. Soalnya dipikiran dr. Puji, Mbak Win adalah bawahannya. Mana bisa bawahannya tidak tahu atasannya siapa," jawab mbak Nissa yang membuatku sedikit lebih maklum.
"La terus nanti, kalau aku ikut ke sana apa dia akan membuatku minta maaf?" tanyaku tentu saja masih enggan untuk minta maaf. Mungkin jawaban mbak Nissa bisa aku terima, tapi tetap saja aku sakit hati mengingat perkataannya yang bilang aku kurang adab.
Adab adalah bawaan moral kita dari keluarga. Dikatain tak punya adab, sama saja dengan bilang kalau orang tuamu tak pernah mengajarimu sopan santun. Orang tuaku tentu saja tidak begitu. Aku tidak suka kalau orang tua dibawa-bawa.
Mbak Nissa mengibaskan tangannya tertawa kecil. "Mbak, dr. Puji itu orang sibuk. Apalagi mau naik jabatan di Depkes, tentu saja punya banyak kesibukan. Mana sempat teringat akan seorang pegawai admin rendahan seperti Mbak Win. Dr. Puji pasti sudah lupa. Bahkan, wajah Mbak Win aja, aku jamin juga sudah lupa," terang mbak Nissa membuat aku menghela napas lega.
"Jadi kalau pun aku nanti muncul dan menikmati hidangan di sana, beliau akan lupa wajahku? Ya memang benar sih, aku bukan orang sepenting itu," tukasku nyaris kepada diriku sendiri.
"Mbak Win, jangan terlalu dipikirkan, apalagi masuk ke hati. Santai. Mari kita hadir dan nikmati hidangannya. Mbak Win belum pernah tho menghadiri pesta tasyakuran orang kaya?" tanya mbak Ega.