Balada Admin Klinik

Dwiend
Chapter #32

Beda Pendapat

Aku mencoba melanjutkan tidur malam itu, tapi tak bisa. Aku meraih kertas dan mulai membuat kerangka lanjutan cerrita yang saat ini sedang aku buat. Semoga saja bisa membuatku mengantuk. Aku tertidur saat menjelang subuh dan terbangun ketika matahari mulai menerangi alam. Aku segera sholat shubuh dan begitu selesai, aku melihat ponsel dan menemukan pesan balasan dari mbak Ega dan juga dr. Syantik. Terlihat dr, Syantik sempat menelpon juga.

Isi pesan keduanya sama-sama mencemaskan keadaanku. Aku pun segera membalas pesan mereka dan mengatakan kalau aku baik-baik saja. Aku bergegas melakukan aktivitas pagiku seperti biasa. Aku baru menyadari betapa kuatnya hantaman batu di kaca klinik saat aku membersihkannya. Kaca itu kini hancur berkeping-keping, meninggalkan lubang besar yang menganga. Tak mungkin hal yang seperti ini dilakukan orang yang iseng. Aku juga menemukan 3 batu sekepalan tanganku diantara pecahan kaca tersebut. Perlu waktu agak lama untuk membuatnya bisa bersih seperti sediakala.

Dengan sisa-sisa rasa ketakutan yang masih ada aku lanjut untuk sarapan. Karena aku kesiangan aku tak masak hari ini. Aku hanya makan mi instan saja.

Dr. Syantik datang bersama mas Sony seperti biasanya pada pukul 7 tepat. Mereka berdua langsung mengamati keadaan kaca klinik yang berlubang besar.

"Gimana kejadiannya Mbak? Sampai seperti ini!" ucap dr. Syantik masih mengamati lubang kaca itu.

Aku pun menceritakan kejadian tadi malam secara singkat.

"Mungkin itu hanya orang iseng saja. Biasanya gerombolan anak muda tengah mabuk," komentar mas Sony. Aku tak percaya mas Sony bisa berkata begitu. Mungkin agar dr. Syantik tak terlalu cemas dan takut.

"Tidak mungkin mereka orang iseng. Aku bekerja di klinik ini sudah hampir 5 tahun. Baru kali ini, ada kejadian kayak gini. Kita harus lapor Mbak pada mbak Nisa dan juga pak Anas," kata dr. Syantik penuh penekanan.

Aku hanya menggeleng. Aku nggak mau berhubungan dengan pak Anas lagi. Bikin trauma.

"Kenapa mbak Win? Dia yang nglarang bayar keamanan, dia yang harus tahu akibatnya. Kita tidak bisa diam saja. Menunggu mereka bertindak lebih brutal lagi? Kalau, pak Anas masih tak mau membayar uang keamanan aku saja yang bayar," tukas dr. Syantik dengan wajah tak sabar.

"Aku malas bicara sama pak Anas. Takut omongannya malah membuat aku down Mbak," kataku beralasan.

"Tidak bisa begitu Mbak. Mbak yang tinggal di sini. Perempuan, sendirian lagi. Harus ada yang menjamin keamanan selama Mbak tinggal di sini. Ini kewajiban klinik," tegas mas Sony.

"Aku saja yang menghubungi pak Anas. Tenang saja Mbak Win," ujar dr. Syantik.

Mas Sony pun tersenyum padaku penuh simpati.

"Jangan terlalu dipikirkan Mbak. Semua pasti ada solusinya. Aku pergi dulu ya," kata mas Sony pamit untuk pergi bekerja. Mas sony memberikan kecupan dahi pada dr. Syantik. Aku buru-buru mengalihkan pandangan jengah. Tambah mesra saja mereka. Mereka sangat cocok dan serasi , sudah seperti pasangan suami istri.

"Hati-hati Mas!" ucap dr. Syantik. Mas Sony mengelus kepala dr. Syantik.

"Kamu juga ya. Jaga diri baik-baik. Nanti aku jemput seperti biasa," kata mas Sony kemudian bergegas pergi.

Tak menunggu waktu lama, dr. Syantik segera menghubungi pak Anas. Aku sempat mencuri dengar perbincangan mereka. Tampaknya pak Anas menaanggapinya begitu santai. Ini yang aku takutkan. Dia tak punya simpati sama sekali.

"Bisa-bisanya ia malah bercanda di situasi seperti ini," gerutu dr. Syantik sambil menutup ponsel.

"Memang pak Anas bercanda apa Dok?" tanyaku begitu kesal dengan pak Anas. Aku menyesal kenapa harus menuruti semua perintahnya. Harusnya aku cuek saja. Aku bayar saja uang keamanan untuk ketenanganku sendiri.

Lihat selengkapnya