Balada Admin Klinik

Dwiend
Chapter #33

Sakit

Teror tengah malam itu memang tak pernah terjadi lagi, tapi perasaanku masih sedikit was-was dan ketakutan, ketika tanpa sengaja aku terbangun tengah malam. Aku mencoba meyakinkan diriku kalau tak akan ada yang terjadi. Semuanya akan berjalan baik-baik saja. Karena dirasa situasinya sudah lumayan aman dr. Syantik mulai jarang menginap di klinik. Ia kian sibuk dan nyaris tak punya waktu untuk sekedar mengobrol santai denganku. Hari pernikahannya memang tinggal menghitung hari saja. Mbak Nissa juga tak bisa diharapakan untuk bisa datang menemaniku, seperti yang dulu. Kesibukannya kuliah dan kerjaan klinik telah menyita banyak perhatiannya.

Menjalani hari-hari di klinik sendirian mungkin bagiku sudah terbiasa. Namun, aku merasa suasana kali ini terasa kian sunyi. Aku jadi teringat perawat yang pernah bekerja dan menghabiskan waktu bersamaku. Klinik ini dulu tak sesepi ini. Klinik ini pernah dipenuhi dengan tawa dan canda. Aku menjadi kurang bersemangat dalam bekerja. Aku tetap menghibur diriku disaat liburan dengan tetap menulis dan juga sedikit jalan-jalan atau melakukan hal yang aku suka, seperti menonton film atau memutar musik. Mbak Nissa juga telah meminjamkan buku-buku koleksinya untuk aku baca di waktu senggang.

Semua kegiatan itu memang mengasyikkan pada awalnya, tapi akhirnya akan bosan juga Jiwaku serasa makin kosong. Aku hanya sendirian. Tak ada yang bisa diajak ngobrol. Aku butuh teman ngobrol. Hanya pak Romi yang selalu datang ke klinik minimal seminggu sekali.

Pak Romi sesekali mengajakku berbicara. Aku selalu menjawabnya singkat saja. Tak ada yang berlebihan. Aku selalu menjaga jarak dengannya dan dia juga begitu. Suatau saat ketika suasana agak sepi dan tak ada pasien yang dilayani dan kebetulan aku juga tak terlalu sibuk aku pun menmbuka tulisanku di komputer dan mulai melanjutkannya. Aku tak menyangka selama aku menulis sejak tadi pak Romi memperhatikan.

"Kau ini ternyata kreatif juga. Buat cerita apa?" tanyanya sambil mencondongkan tubuhmya ke depan komputer. Aku terkesiap kaget. Wajahnya begitu dekat denganku.

"Oh aku nggak nulis apa-apa kok Pak," kataku buru-buru keluar dari aplikasi untuk menulis. Aku segera menjauhkan tubuhku dengan menggeser dudukku.

Pak Romy tersenyum dan menatapku penuh arti.

"Mbak Win ini anaknya Pinbo sekali," serunya kemudian mengambil sebuah kursi dan duduk di hadapanku. Aku makin salah jengah.

"Istilah apa pinbo itu?" tanyaku mulai memberesi meja yang sebenarnya sudah rapi.

"Pinbo itu pintar-pintar bodoh,"

Aku mengerutkan dahi tak mengerti.

"Mbak Win itu sebenarnya orangnya cerdas dan dapat dipercaya. Aku melihatnya dari cara Mbak Win bekerja," jelasnya tampak serius. Tangannya bersedekap di depan dada sambil menatapku.

"Lah katanya, kan pintar kok juga bodoh?" tanyaku makin tidak paham.

"Mbak Win bodoh. Mbak Win cukup terlalu pintar sebenarnya, kalau harus sekedar bekerja di klinik kecil seperti ini. Mbak Win bisa jadi apa pun. Dengan ketekunan, kejujuran dan semua dedikasi Mbak Win, aku yakin Mbak bisa jadi orang sukses dalam bidang apa pun,"

Aku langsung tertawa.

"Pak jangan bicara sembarangan. Sudahlah, kalau Bapak udah selesai silahkan segera pergi ke klinik lainnya. Siapa tahu klinik lain membutuhkan Bapak," seruku yang tak mau terlalu GR dengan kalimat pujiannya barusan.

Lihat selengkapnya