Sebuah hari di bulan Juli tahun 2006.
Hari itu, Sabtu jam 8 pagi aku akan melamar pekerjaan. Aku mendapat informasi lowongan pekerjaan melalui koran. Kebetulan aku harus datang langsung untuk interview. Tempatnya ada di pusat kota Malang. Aku naik angkot warna hijau daun, angkot khusus menuju ke pusat kota.
Kota Malang adalah kota kebanggaanku. Walau aku tidak bisa kuliah, aku cukup bangga menjadi warga kabupaten Malang. Malang termasuk kota dengan jumlah universitas lumayan banyak. Di sepanjang perjalanan, aku setengah melamun memandangi gedung- gedung perkuliahan. Ada sedikit ironi. Malang adalah kota pendidikan, tapi tidak semua penduduknya bisa berkuliah. Pikiran pun mulai sedikit berandai-andai. Ahh! Busyeet aku kebablasan. Aku memandangi alamat yang tertera di amplop lamaran kerjaku. Cukup berjalan satu blok, aku akan sampai.
Aku jadi teringat pengalaman mencari kerja sebelumnya. Hanya seorang diri, aku mencoba mengadu keberuntungan. Berbekal ijazah SMU yang aku dapatkan dengan susah payah, tanpa keterampilan apa-apa dan juga tak ada koneksi sama sekali, aku berharap ada keajaiban. Aku ingin tunjukkan, walaupun tanpa koneksi aku bisa mendapat kerja.
Aku sendiri tak berharap kerja yang bagaimana. Bidang apa pun, apabila dengan tekad dan kerja keras pasti akan jadi berhasil dan sukses. Dengan pikiran dan semangat yang membara, aku ingin segera menyambut dan merintis karier dari bawah. Dengan kompetensi yang aku punya, aku yakin bisa meraihnya.
Untuk beberapa bulan awal kelulusan, aku begitu bersemangat menulis beberapa surat lamaran ke beberapa pabrik di sekitar daerahku. Beberapa kerabatku memandangku dengan skeptis. Mana mungkin di terima kerja zaman sekarang tanpa koneksi sama sekali. Bahkan ada saudaraku yang bilang, kalau surat lamaranku harus didoai ke pak kyai supaya bisa diterima. Ohh, sungguh mencederai keimananku. Akhirnya beberapa minggu kemudian, surat lamaranku tak ada kabar beritanya, alias hilang ditelan rimba pos. Padahal membuat lamaran plus ongkos posnya lumayan tak sedikit. Yah tahulah, anak pengangguran sepertiku dengan keadaan orang tua yang sangat pas-pasan.
Aku masih tetap memegang teguh untuk tidak menggunakan koneksi dan doa pak kyai. Cukup doa kedua orang tua dan juga doaku sendiri. Tak mau putus asa, selanjutnya aku melamar kerja lewat lowongan di koran. Selama seminggu aku mulai berlangganan surat kabar. Meneliti semua lowongan yang sesuai dengan kualifikasiku.
Terdamparlah aku di sebuah mal tanpa kepastian. Buntutnya aku malah kehilangan uang sebagai jasa penyalur tenaga kerja perusahaan outsourcing. Masih tak mau diam saja, beberapa hari kemudian, aku nekat melamar kerja ke sebuah perusahaan. Aku pun harus menelan kekecewaan karena aku harus menjadi sales panci keliling. Sejak saat itu, aku tahu, aku tak bakat marketing sama sekali. Sekaranglah, kugantungkan harapanku untuk terakhir kalinya
Di koran tertera dibutuhkan beberapa Adiministrasi klinik. Penempatan di Surabaya. Aku mencoba mengais sisa semangatku untuk kembali berjalan. Aku memasuki kawasan dengan rumah-rumah mewah. Tak ada tanda-tanda keberadaan klinik di kawasan ini. Aku memandang alamat di koran lagi. Dengan ragu-ragu, aku memberanikan diri bertanya pada ibu-ibu pemilik warteg.