Pesantren Desa Darungan

fenoadinaya
Chapter #2

Pencarian dan Perjalanan

Jalanan tampak masih basah bekas guyuran hujan semalam, lalu lintas Ibukota ramai seperti biasanya dengan kebisingan suara mesin-mesin kendaraan tiada henti yang menyebabkan macet panjang. Namun, langit hari ini sedikit cerah agak kebiruan dibanding abu-abu seperti biasanya karena polusi.

Jutaan manusia mulai sibuk dengan kegiatan dan aktivitasnya masing-masing. Termasuk Aldo, Alvin dan Rivo dengan pekerjaan dan masalah mereka.

Aldo membuka pintu garasi konter yang dilanjutkan dengan membersihkan etalase, Alvin mulai mengantar paket dari satu rumah ke rumah yang lain, namun berbeda dengan Rivo yang masih tertidur pulas.

Setelah selesai membersihkan konter, Aldo menghidupkan komputer. Ia membuka browser untuk mencari tahu alamat pesantren yang menarik perhatiannya tersebut.

***

Seperti biasa, Alvin berdiri di depan pagar menunggu pemilik rumah mengambil paketnya. Ia melihat sekeliling lingkungan yang tenang itu, di sebelah rumah tersebut terdapat sebuah pesantren yang nampak besar dari luar. Seketika ia teringat ucapan Aldo yang mengajaknya ke pesantren.

"Bang?" Alvin tersentak oleh lamunannya.

Seorang perempuan berhijab merah muda berdiri di hadapannya. Melihat perempuan muda itu seketika Alvin merasa hatinya tentram, tersimpul senyum di sudut bibirnya. "Oiya, ini paketnya. COD ya tiga puluh ribu." Alvin memberikan paket itu sambil memotret penerimanya.

Perempuan itu mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya, "Sebentar ya bang, kurang lima ribu." Ia masuk ke dalam rumah.

"Iya neng." Alvin mengalihkan pandangannya pada pesantren itu lagi.

Tanpa disadari perempuan tersebut sudah berada di hadapannya lagi dan memperhatikan Alvin yang tak menyadari keberadaannya.

"Mau nganter paket ke pesantren ya, bang?"

Alvin tersentak, "nggak neng. Cuma penasaran aja."

"Penasaran kenapa?"

"Kalau mau belajar di pesantren itu ada batasan umurnya nggak sih?"

"Kalau di pesantren ini ada bang, karena pesantren ini khusus untuk pelajar aja. Tapi biasanya di pesantren yang jauh dari kota gitu nggak ada batasan umur karena kan menuntut ilmu nggak mengenal usia, apalagi ilmu agama."

"Oh gitu neng."

"Iya bang, oiya ini uangnya. Terima kasih, ya."

"Iya sama-sama." Wanita itu berlalu dari hadapan Alvin, tak lama ia juga langsung tancap gas motor kesayangannya untuk mengantarkan paket-paket pelanggannya yang lain menyusuri jalanan Ibukota dan tentunya menghadapi kemacetan yang sudah menjadi pemandangan umum semua orang yang tinggal disana.

***

Rivo baru bangkit dari kasur, ia merasa badannya agak meriang karena terkena hujan semalam saat jalan pulang dari warkop, ia langsung mengambil peralatan mandi dan segera bersiap-siap untuk berangkat bekerja.

Saat hendak menuju kamar mandi, kakinya tersandung asbak rokok yang membuat debu dan isinya tumpah kemana-mana. Rivo mengerang kesal. Sementara membersihkan debu yang bertebaran ia tak sengaja melihat jam di kamarnya yang sudah menunjukan pukul 9.15, sementara jarak kosan menuju tempat kerjanya memakan waktu tiga puluh menit, yang membuatnya berlarian ke kamar mandi karena khawatir akan telat kerja.

Beberapa menit kemudian, Rivo keluar kamar mandi lalu mengambil pakaian kerjanya di dalam lemari. Ia keluar rumah, mengunci pintu dan bergegas menghidupkan motor untuk berangkat kerja.

***

Di tengah teriknya matahari dan ramainya aktivitas warga sekitar di gang sempit tempat tinggalnya. Rasa penasaran akan pesantren tersebut seolah mengalihkan dunia Aldo, ia sibuk menggulir layar di komputer mencari satu per satu alamat pesantren yang akan dikunjunginya.

Beberapa kali lelaki berkumis tipis itu membuka tab baru di browser, namun belum juga ia menemukan artikel yang mengarah pada pesantren yang ia maksud. Sampai Aldo membaca artikel ke sekian puluh kalinya, ada satu pesantren yang menarik perhatiannya. Sebuah pesantren di daerah pelosok yang jauh dari Ibukota, nama pesantren tersebut Pesantren Darungan.

Aldo melihat informasi lebih detil akan pesantren itu. Di akhir artikel, terdapat alamat lengkap dan sebuah foto yang menunjukkan kondisi pesantren. Dari foto itu, bangunan pesantren nampak masih kokoh meski bangunan terlihat lawas dan sedikit ada aura mistis. "Pesantren Darungan." Ia menggumam pelan, tersimpul senyum di sudut bibirnya. Pesantren itulah yang ia cari.

Aldo menjentikkan jari senang bersamaan dengan munculnya ide di kepalanya. Ide brilian untuk kedua temannya!

***

Alvin yang sedang menyetir spontan menghentikan motornya ketika mendengar suara notifikasi whatsapp dari handphonenya, ia membaca pesan dari Aldo yang mengajaknya bertemu nanti malam pukul delapan di warkop biasanya. Begitu pula dengan Rivo yang menerima pesan tersebut di saat ia sedang melakukan pekerjaannya. Rivo mengerutkan dahi, penasaran untuk apa Aldo mengajaknya bertemu.

***

Malam itu tiba, Aldo sudah berada di warkop sekitar sepuluh menit yang lalu. Di hadapannya sudah ada tiga gelas teh hangat dan sepiring gorengan yang masih panas. Terdengar suara motor yang mendekat, Alvin dan Rivo yang berboncengan turun dari motor. Dengan memakai kaos oblong yang sudah agak usang dan celana pendek, mereka menghampiri Aldo.

"Hei, bro." Sambut Aldo.

Alvin dan Rivo merasa aneh, "tumben-tumbenan nih udah nyiapin teh sama gorengan segala."

"Iya nih, rasa-rasanya ada maunya ni anak." Alvin dan Rivo saling tatap satu sama lain.

"Duduk-duduk, minum dulu nih tehnya." Aldo menyodorkan dua teh pada masing-masing temannya dengan senyum sumringah.

Alvin dan Rivo meminum teh itu.

"Jadi gini, gue udah nemu lokasi pesantren yang mau kita kunjungin."

"Emang dimana?" Rivo menanggapi.

"Di sebuah Desa Darungan, di pelosok ujung timur. Rencananya gue bakal berangkat sabtu sore. Kalian jadi ikut, kan?"

Lihat selengkapnya