Terlihat bangunan yang sudah cukup tua dengan suasana sekitar yang tenang dan rimbunnya pepohonan di sekeliling pesantren itu, tiga pemuda tersebut mencoba mencari salah satu penghuni pesantren dengan mengucap salam di depan gerbang masuk pesantren.
"Assalamu'alaikum!" Aldo mengucap salam.
Beberapa menit tak ada yang menyahut. Mereka bertiga celingak-celinguk sampai muncul sosok pria paruh baya dari belakang mereka, sontak mereka bertiga terkejut oleh kemunculan pria berpakaian serba hitam lengkap dengan udeng di kepalanya beserta sabit di tangan kanannya.
"Mau nyari siapa, dek?" Pria itu melemparkan tatapan misterius pada Aldo, Alvin dan Rivo. Ia memandangi dari atas kepala sampai ujung kaki mereka.
"Ini pak mau nyari pengurus pesantren disini." Sahut Alvin.
"Kalian berasal dari mana? Ada urusan apa?"
"Kami dari Jakarta pak, kami berniat ingin belajar agama di pesantren ini. Menurut informasi yang saya dapatkan, pesantren ini mau menerima murid tanpa batas umur tertentu ya?" Aldo melanjutkan.
"Betul. Perkenalkan saya Slamet, kebetulan saya penjaga asrama laki-laki disini." Pak Slamet menjabat tangan mereka bertiga yang langsung disambut hangat oleh perkenalan diri dengan nama masing-masing.
"Mari masuk, saya antar ke ketua yayasan pesantren ini." Kata pak Slamet disertai senyum ramah sambil membukakan gerbang masuk pesantren.
Mereka bertiga tersenyum lega dan mengikuti jejak pak Slamet yang akan mengantar mereka kepada pengurus yayasan tersebut. Pesantren itu cukup besar dan luas dengan bangunan-bangunan lawas yang masih kokoh. Ada banyak ruangan di dalamnya, beberapa santri sedang menjalankan kegiatan disana.
Pak Slamet berhenti di depan sebuah ruangan tua yang di atasnya bertuliskan papan "Ketua Yayasan", ia mengetok pintu sembari mengucap salam.
Beberapa detik kemudian, seorang pria tua yang memakai jubah putih tulang beserta peci putih lengkap dengan tasbih di tangan kanannya membukakan pintu. "Wa'alaikum salam."Pria tua berjenggot putih itu tersenyum ramah pada tamu yang akan menjadi santrinya.
Pak Slamet mengenalkan mereka bertiga pada ketua yayasan yang bernama Kyai Baharudin sebelum pamit untuk melanjutkan aktivitasnya. "Saya tinggal dulu ya, mau bersih-bersih rumput di belakang asrama." ucap pak Slamet berpamitan.
"Silakan masuk, nak." Kyai Baharudin mempersilakan masuk dengan mendahuluinya berjalan, mereka duduk di kursi-kursi kayu yang ada di dalam ruangannya.
Aldo mewakili kedua temannya menjelaskan maksud dan tujuannya kepada Kyai Baharudin. Mereka bertiga menceritakan pula secara bergantian akan perjalanannya hingga sampai ke pesantren ini. Terjadilah percakapan panjang diantara mereka yang di simak baik-baik oleh ketua yayasan itu.
"Alhamdulillah, saya senang sekali ada anak muda yang memiliki kesadaran diri dan keinginan untuk belajar agama di tengah minimnya pengetahuan mereka tentang agama." Kyai Baharudin tersenyum takjub sambil mengelus dadanya.
Mereka bertiga menyimpulkan senyum bangga pula, kini giliran Kyai Baharudin menceritakan kepada mereka kilas balik pesantren yang sudah ia kelola secara turun temurun dari almarhum kakeknya. Aldo menyimak dengan antusias kisah per kisah yang diceritakan Kyai Baharudin, Alvin hanya menganggukkan kepala sesekali sedangkan Rivo malah tertidur ditengah obrolan mereka dengan ketua yayasan.
Kyai Baharudin pun menjelaskan aturan-aturan yang harus dipatuhi dan kegiatan setiap harinya yang akan dilakukan selama di pesantren. Mereka bertiga juga akan dibimbing oleh ustad lainnya dan juga santri-santri senior yang akan membantu mereka untuk lebih mengenal pondok pesantren itu. Mereka bertiga pun juga menyerahkan beberapa barang yang tak boleh dipakai selama belajar di pesantren, salah satunya handphone.
Setelah mendapat arahan, mereka dipersilakan untuk beristirahat di asrama putra lalu diantar langsung oleh pak Slamet menuju kamar yang akan mereka tempati selama menimba ilmu di pesantren. Dalam perjalanan menuju asrama, pak Slamet memberi tahu beberapa ruangan dan letak masjid yang biasa digunakan santri untuk sholat berjama'ah setiap harinya.
Pak Slamet membuka pintu kamar santri, memperlihatkan isi kamar sederhana dengan dua kasur bertingkat, kipas angin dan lemari pakaian kecil. "Silakan, ini kamarnya. Kebetulan kamar ini kosong, penghuni sebelumnya sedang pulang kampung beberapa hari lalu."
Aldo, Alvin dan Rivo menatap seisi ruangan yang cukup kecil untuk tiga orang itu, "dimaklumi saja. Ini kamar santri, bukan hotel jadi ya barang di kamar seadanya. Tapi masih layak untuk kalian bertiga."
"Ini udah lebih dari cukup kok pak. Kami diterima disini saja sudah sangat berterima kasih." Aldo tersenyum hangat.