Pesantren Gaib

Ariny Nurul haq
Chapter #2

Chapter I

Aku dari dapur menuju ruang tamu membawa sarapan bubur untuk Cetta Bhanumati, anak sulungku ternya bocah berusia lima tahun itu tidak ada di tempat bermainnya. Aku panik.

“Cetta, kamu di mana?” panggilku. Hening. Pandanganku tertuju ke pintu yang terbuka lebar. 

“Astaga, Mbak Ani kenapa ceroboh banget sih. Udah dibilangin, kalau keluar tuh kudu tutup pintu.”

Putri sulungku itu anak istimewa. Kakinya lebih pendek sebelah kiri. Maka dari itu aku posesif menjaga dia di rumah saja. Takut dibully anak tetangga.

Aku langsung lari keluar untuk mencari Cetta. Tetap tidak ada. Melintaslah seorang ibu paruh baya, penjaga warung tak jauh di rumahku.

“Mbok, liat anak saya nggak?” Aku bertanya dengan nada cemas dan panik.

“Tadi saya liat dia berjalan ke sana.” Si ibu itu menunjuk jalan keluar gang. Aduh, gawat. Aku mengacak rambut frustrasi. Tanpa sempat mengucapkan terima kasih ke ibu, aku langsung berlari mengejar Cetta.

Mataku langsung melotot ketika melihat Cetta berdiri di tengah jalan dan ada motor melaju kencang. 

“Cetta, awasss!”

Aku berlari hendak menarik Cetta, nyatanya malah tersandung batu. Aku menutup mata, tak sanggup melihat apa yang terjadi ke putriku.

Ketika aku membuka mata, ada seorang pemuda memeluk putriku. Seketika bernapas lega. Aku coba kembali berdiri, walau kaki ini sakit. Sepertinya terkilir. Dengan tertatih-tatih aku menghampiri Cetta.

Aku langsung memeluk Cetta. “Cetta, kok bisa sampai ke sini sih? Kan, Mama udah bilang jangan keluar rumah.” Aku mulai mengomel. 

Mataku mengerling. Terlihat pemuda sibuk main ponselnya. Astaga, aku sampai lupa mengucapkan terima masih sama pemuda yang menyelamatkan putriku. 

“Eh, Mas. Maaf. Terima kasih sekali telah menyelamatkan putri saya. Saya nggak tau apa yang akan terjadi kalau nggak ada, Mas.”

“Sama-sama, Mbak. Lain kali putrinya lebih dijaga lagi ya. Saya permisi dulu.”

Pemuda itu pergi dari hadapan kami.

“Cetta, pertanyaan Mama tadi belum kami jawab. Kenapa kok bisa jalan sampai ke sini?” kejarku yang masih diselimuti rasa penasaran.

Pasalnya rumahku dan jalan raya ini lumayan jauh. 

“Tadi ada Nenek rambut putih semua yang manggil Cetta. Nenek itu mengajak Cetta bermain, katanya akan ditunjukkan tempat paling indah yang nggak ada rasa sakit dan penderitaan, Ma. Makanya aku ikuti Nenek itu,” ujarnya polos.

Deg! Nenek siapa? Di sekitar rumahku tak ada nenek-nenek rambut putih. Mentok paling tua ibu warung yang kutanya tadi. Itu pun beliau memakai hijab. Lalu siapa yang memanggil Cetta?

***

“Halo, Sayang.”

Aku heran baru jam sepuluh Biru Laut, suamiku menelepon. Biasanya aku duluan yang menelepon dia untuk ingatkan makan siang. “Iya, Sayang. Ada apa? Tumben nelepon jam segini.”

“Aku mau minta tolong, map ijo di ruang kerjaku ketinggalan. Bisa kamu antarkan ke kecamatan nggak? Aku lagi di kecamatan nih. Pakai GoSend aja.”

“Oke. Aku aja yang antarkan, sekalian mau antar makan siangmu.”

Aku terburu-buru turun ke lantai satu, ruang kerja suamiku. Tiba-tiba mataku terpaku ke arah pojok tangga. Terpantau sosok berwajah hitam, di atasnya ada kunciran di kain kafannya. 

Refleks aku memejamkan mata. Astagfirullah, pocong. Dalam hati sibuk baca ayat kursi. Tanpa kusadari kakiku terpeleset. Lalu aku terguling-guling di tangga.

“Aaaarrrrgg.” Ponsel di tanganku terlepas. Kepalaku pusing luar biasa. Pandanganku mulai kabur. Kurang lima menit semua gelap.

***

2018

Aku mondar-mandir nggak jelas karena mengkhawatirkan Biru. Sesekali kulirik jam dinding yang tergantung di sudut ruang tamu. Jarum jam sudah mununjukkan pukul sembilan malam. Kenapa Biru belum pulang juga? Nggak mungkin kan acara reuni sampai selarut ini? Aku mengambil ponsel dari saku celana, lalu mencoba menghubungi Biru lagi.

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkau. Cobalah beberapa saat lagi.”

Shit! Kenapa ponselnya nggak aktif, sih? Menambah kekhawatiranku aja. Jari-jariku lantas mengetik pesan Whatsapp untuk Biru.

Lihat selengkapnya