Usai diajak berkeliling pesantren, kami dibawa Kiayi Subron ke aula pesantrennya.
“Nak, Bapak Biru dan Ibu Ara, saya akan mulai mencoba ruqiyah syar’i terhadap kalian terlebih dahulu untuk mendeteksi seberapa kuat pengaruh jin yang ada di diri kalian.”
Kiayi Subron mulai memejamkan mata dan melafalkan taawuz. Lalu, dilantunkan baca Al-Fatihah ayat 1-7, Al-Baqarah ayat 1-5 dan Al-Baqarah ayat 102. Dulu waktu belajar di Madrasah Tsanawiyah Puteri Al-Amin, surat tersebut dibacakan untuk pasien terkena sihir. Jujur, tubuhku mulai bereaksi. Dari panas, mual, pusing dan semua rasa nggak enak campur jadi satu.
Kiayi Subron kembali melafalkan surah Al-Baqarah ayat 163-164, Al-Baqarah ayat 255-257, ayat kursi dibaca tiga kali. Lalu, disambung dengan 256 dan 257, dibaca satu kali saja. Masih surah Al-Baqarah ayat 284-286. Baru surah Ali Imran ayat 1-10, 18-19 dan 26-27. Tubuhku menegang seperti ada energi besar masuk dan mengendalikan tubuhku. Aku sadar, tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Inikah namanya kesurupan?
“Aaaarrrrggg … panas. Berhenti!” teriakku.
Kiayi Subron bergegas bergerak ke arahku. Beliau memegang ubun-ubun dan tengkuk. Mulut beliau tetap melafalkan ayat Al-quran membuatku semakin panas.
“Cukup!”
“Hay, kamu siapa? Ayo keluar!”
“Tidak mau. Suaminya itu hamba saya. Saya tidak akan pergi begitu saja sampai mengambil janin di perut orang ini dan semua keturunannya.”
Kiayi Subron semakin kuat menekan tengkukku. Lalu, lanjut membaca ayat suci Al-Quran. Sehingga membuat tubuhku menegang. Nggak berapa lama, seketika lemas. Perlahan aku bisa kembali mengendalikan tubuh.
“Assalamualaikum, Bu Ara. Apakah bisa mendengar saya?”
“I … iya,” ujarku lemas.
Anak buah Kiayi Subron membawakan air putih. Sang Kiayi membacakan doa dulu. Baru aku disuruh minum air tersebut.
Tubuhku agak enakan. Aku bisa duduk dan merapikan jilbab.
“Gimana Kiayi keadaan istri saya?”
“Benar. Dampak apa yang dilakukan Bapak Biru di masa lalu belum sepenuhnya pergi. Sekarang memang tidak mengincar nyawa Bapak Biru, tapi dia mengincar istri dan anak Pak Biru.”
Aku merinding ketakutan. “Jadi kami harus gimana, Pak Kiayi?”
“Bu Ara harus perawatan full di pesantren ini sampai bayinya lahir.”
“Tapi kalau saya ke sini seminggu sekali nggak papa, kan? Saya harus kerja, Pak Kiayi,” sahut Biru.
Astaga, aku tercengang. Di saat seperti ini suamiku malah masih mikir kerjaan. Nggak habis pikir aku.
“Jika Bapak Biru tidak bisa mendampingi full karena mungkin harus bekerja, Bapak Biru bisa ke sini seminggu sekali untuk ruqiyah mandiri.”
“Baik Pak Kiayi, terima kasih banyak.”
Kami pun pulang dulu. Mempersiapkan segala hal untuk stay di pesantren. Termasuk membicarakan dengan Biru kenapa dia ingin seminggu sekali saja ke pesantren.