Aku tiba di pesantren pukul 14.00. Aku turun dari mobil Biru. Kami berpelukan untuk terakhir kalinya dan akan berpisah selama seminggu. Selama lima tahun menikah, baru kali ini berpisah dengannya. Air mata netes dengan sendirinya.
“Kamu yang sabar ya. Jangan rindu, berat. Biar aku saja.”
Aku menyeka air mata. Lalu, tertawa pelan. “Apaan sih. Lagi sedih juga, sempet-sempetnya gombal kayak Dilan.”
Muncul Ustazah dari dalam pesantren. “Selamat datang, Bu Ara. Perkenalkan saya Ustazah Eni. Mari saya bawakan barang dan antar ke kamar,” tawarnya.
Mungkin karena melihatku kerepotan menggendong Cetta dan membawa tas tangan cukup besar.
“Ustazah, boleh saya mengantar istri dan anak saya sampai ke dalam?”
Ustazah Eni tersenyum simpul. “Mohon maaf tidak bisa, Pak. Pengantar cukup sampai di sini saja.”
“Oh, begitu. Ya udah, kamu masuk pesantren gih. Kamu hati-hati ya. Kalau ada apa-apa langsung telepon.”
Kami berpelukan sekali lagi. Biru mengecup keningku. Sedangkan aku mencium tangannya.
“Kamu juga jaga diri ya. Jadwal dan menu makan, udah aku kasih tau Mbak Nani.”
Setelah berpamitan dengan Biru, aku masuk pesantren mengikuti Ustazah Eni. Untung Cetta tidur, jadi tak ada drama menangis kejer Cetta pisah sama ayahnya.
“Di pesantren putri ini, ada dua lantai. Lantai bawah buat kelas-kelas. Dari kelas VII sampai XII. Namun, kalau untuk umum jika belajar spiritual atau untuk pengobatan maka ada kelas fiqih, akidah akhlak, tajwid, tahwu shorof, dan Bahasa Arab. Semua santri boleh memilih kelas mana.”
“Lalu, lantai atas ada kamar-kamar santri lengkap disediakan toiler di kamar, dapur, musala dan rootrof untuk santai.”
Ustazah Eni memberikan penjelasan. Aku manggut-manggut paham.
“Aduh, Ustazah maaf saya bawa anak kecil. Apakah di pesantren ini hanya saya saja yang bawa anak kecil?”
“Banyak kok anak kecilnya. Bahkan ada kamar sendiri. Nanti anak-anak akan diajarkan mengaji oleh Ustazah lain.”
“Ustazah, maaf di pesantren ini ada pantangan tersendiri nggak?”
“Ada. Di belakang ada taman bermain untuk anak-anak, tapi ada sebuah ruangan paling pojok yang terkunci. Santri dilarang coba-coba buka kunci itu.”
Dahiku berkerut. “Loh, kenapa?”
“Nggak tau juga ya. Udah aturan sejak zaman dahulu kala.”
Aku merasa ada yang aneh. Namun, ya sudahlah. Toh, semua tempat punya aturan atau pantangan masing-masing. Cukup tahu saja.
Tak terasa langkah kami berhenti di sebuah ruangan. Tertulis Kamar Melati 01. “Nah, di sini kamar Bu Ara dan Dek Cetta.”
Di samping kamar, ada sebuah spanduk besar yang tertulis jadwal pesantren.
Jadwal Kegiatan Pesantren
02.00: Bangun tidur
02.30: Mandi dan siap-siap salat malam
03.00-04.30: Halaqah Al-Qur.’an
05.00: Salat subuh berjamaah
05.30: Sarapan
06.00: Olahraga
07.00: Salat Dhuha