Pesantren Gaib

Ariny Nurul haq
Chapter #11

Chapter VIII

Pukul 21.00 semua santri sudah pada masuk kamar untuk istirahat tidur. Namun, masih banyak yang bandel, nggak langsung tidur. Ada yang main HP atau ngobrol dulu.

“Gaess, kalian pernah dengar kebakaran di pesantren ini tahun 91 nggak?” Aku berusaha memancing mereka untuk memberikan informasi.

“Heh? Emang pernah kebakaran di pesantren ini? Tau dari siapa kamu?” Dinda malah tanya balik. 

Aku mengeluarkan sobekan kliping artikel koran yang dikasih Biru dari gamis. “Akku tadi dikasih info ini dari suamiku. Nemu di lemari kamarnya, katanya. Makanya aku penasaran sejarah pesanten ini.”

“Pernah sekilas. Langsung ditegur senior kalau bahas itu. Katanya pamali nggak tau kenapa,” sahut Idha.

Yah, aku kecewa. Nggak ada satu pun informasi yang bisa gue dapat dari mereka. 

Jederrrr!

Tiba-tiba petir keras terdengar. Hujan lebat pun turun bertepatan dengan perutku mulas luar biasa.

“Aw … sakit!” rintihku.

“Mbak Ara kenapa?”

“Nggak tau nih perutku sakit banget.”

Sakit itu makin menjadi-jadi. Janin di perutku menendang-nendang. Lalu, beralih ke punggung. Aku takut setengah mati soalnya di film horor yang kutonton kalau janin pindah ke belakang, bakal meledak terus meninggal. 

“Oiiii … panggil Ustazah Eni atau Nyai sekarang!” panik Dinda yang sedari tadi mencet bel, tapi sepertinya ada troble.

Cetta terbangun. Dia langsung menangis melihatku kesakitan dengan perut membesar di belakang. “Mama … kenapa? Hiks.”

“Mamamu nggak kenapa-kenapa kok. Tolong bawa Dik Cetta keluar dulu,” pinta Dinda.

Azka bergegas keluar memanggil Ustazah serta membawa Cetta. 

“Kamu sih bahas kebakaran itu. Arwah korban jadi marah kan,” sahut Idha lagi.

Mataku merem melek menahan sakit yang luar biasa. “Mbak, Nyai, atau siapa pun, maafkan saya tadi bahas soal kebakaran. Saya janji nggak akan kepo lagi,” lirihku.

Mulutku sibuk melafazkan salawat nabi. Ustazah Eni dan Nyai Nur datang. Ajaibnya, sakit di perutku hilang.

“Ada apa dengan Bu Ara?”

“Tadi dia kesakitan perutnya,” jawab Dinda.

“Sekarang udah ilang sakitnya. Kayaknya kontraksi aja.”

Nyai Nur mendekat. Lalu, memegang tangan dan perutku. “Oh, ini hanya ada yang iseng aja. Makanya ayo kalian tidur. Jangan lupa berdoa baca ayat kursi dulu.”

Kami pun menurut. Bergegas matikan lampu untuk tidur.

Lihat selengkapnya