Pesantren Gaib

Ariny Nurul haq
Chapter #12

Chapter IX

Aku kembali mengemasi pakaian untuk bersiap kabur dari pesantren ini.

“Mau ke mana, Mbak Ara? Emang udah boleh pulang sama Kiayi dan Nyai?” tanya Idha.

“Gaesss … aku udah tau sejarah pesantren ini.”

Aku menceritakan semua yang kulihat dari Inayah. “Pesantren ini bahaya gaesss. Mereka menyembuhkan pesugihan dengan pesugihan juga. Kita harus kabur dari sini malam ini juga biar kita nggak terjebak selamanya di sini.”

Mendadak aku mencium bau gosong seperti daging terbakar. “Gaesss, kalian abis bakar sate ya?” Aku masih berpositif thinking.

Hening. Aku membalikkan badan. Seketika kamar pesantren tahu-tahu berubah menjadi ruangan terbengkalai, habis terbakar dan tersisa puing-puingnya saja. Lebih menakutkan lagi Idha, Azka, serta Dinda menjelma menjadi sosok menakutkan.

“Jadi kamu sudah tahu?”

Aku menelan ludah berkali-kali. Tubuhku gemetar hebat. Tanpa pikir panjang, aku menggendong Cetta. Lalu, langsung lari ke luar. 

Di luar kamar pesantren, ada Nyai Nur, Ustazah Eni, Ustazah Minah dan Kiayi Subron. Mereka nggak kalag mengerikan dari tiga teman sekamarku.

“Huwaaaa …” 

Aku terus berlari seolah lupa aku lagi hamil lima bulan. Semakin berlari, pesantren ini semakin nggak ada ujungnya. Bak labirin. Mendadak perutku mulas luar biasa. Ketika aku menunduk, aku melihat cairan merah mengalir di paha. Seketika badanku terduduk lemas.

Di sisa tenaga aku merogoh saku gamis. Untung ada ponsel. Langsung kutelepon Biru. Ternyata nggak ada sinyal. Ah, sial.

Badanku semakin lemas. Aku coba baca ayat suci Al-Qur.’an yang kuhafal. Ayat kursi serta tiga qul: An-Nash, Al-Falaq, dan Al-Ikhas.

Napasku mulai tersengal-sengal, pandangan pun semakin mengabur. Kini aku pasrah. Mungkin ini saatnya aku meninggalkan dunia fana ini. Kupeluk Cetta erat dan perlahan mulutku mengucapkan dua kalimat syahadat. Lalu, semua gelap.

***

Aku terbangun di sebuah gubuk. Dengan masih linglung, aku bertanya-tanya, aku masih hidup atau sudah mati? Seingatku terakhir aku pendarahan saat berlari keluar dari pesantren. Kucubit pipi, ternyata sakit. Artinya masih hidup. Namun, aku di mana? 

Pandanganku menjelajah di semua ruangan ini. Di sebelahku ada Biru dan Cetta. Aku menggoyang-goyang Biru.

“Mas, bangun.”

Mata Biru terbuka. Dia sama linglungnya denganku. “Kita di mana, Sayang?”

“Nggak tau. Kok kamu bisa ada di sini juga? Aku tadi malam cari kamu tau.”

Biru terdiam. Mungkin dia berusaha mengingat apa yang terjadi tadi malam. “Tadi malam pas aku mau keluar dari pesantren, tiba-tiba pesantren berubah jadi tempat terbengkalai, bekas terbakar. Lalu, Kiayi Subron dan seluruh santri menjelma jadi sosok mengerikan.”

“Sama persis aku alami. Lalu, siapa yang membawa kita ke tempat ini?”

Lihat selengkapnya