Pesantren Gaib

Ariny Nurul haq
Chapter #5

Chapter II B

“Mama, main yuk,” rengek Cetta.

“Mau main apa, Sayang?” 

“Main Barbie.”

“Sini Mama temenin.”

Aku nggak ingin kejadian buruk kemarin terjadi lagi. Maka dari itu, kali ini aku akan full menemani Cetta bermain selagi Mbak Nani aku suruh ke minimarket buat belanja kebutuhan dapur. 

Duk … duk … duk

Terdengar suara ketukan, seperti orang mengetuk sesuatu di dapur. Aku abaikan. Aku pikir hanya perasaan saja. Namun, semakin diabaikan suara itu semakin keras. Aku jadi penasaran.

Aku berdiri. Mencoba mengecek dapur. 

“Cetta, Mama ke dapur bentar ya. Jangan ke mana-mana apalagi keluar kayak kemarin.”

“Iya, Ma.”

Aku berjalan ke dapur. Nggak ada siapa-siapa. Lalu siapa yang tadi mengetuk-ngetuk? Seketika bulu kudukku meremang. Entah kenapa tiba-tiba aku berada di sebuah hutan belantara.

“Aku di mana? Cetta, Mas Biru, kalian di mana?” teriakku. Hening. Aku panik. Mencoba berjalan di sekeliling mencari mereka. Nggak kunjung kutemukan.

Aku jongkok, tutup mata serta telinga, air mataku mengalir deras. Ini pasti cuma haluku aja. Aku mencoba meyakinkan diri.

Seseorang menarik tanganku. Barulah aku sadar berada di dapur. Benar tadi hanya haluku. Yang menarik tanganku adalah Cetta.

“Ma, di luar ada Nini datang.”

“Oh ya.”

Buru-buru aku berdiri kembali untuk membuka pintu.

Pintu kubuka. Benar Mama yang datang. Aku pikir mama mertua yang datang. Beliau yang sering datang ke rumah buat antar makanan. Mama memelukku erat. 

“Sayang, gimana kabarmu? Udah sehat kan? Kandunganmu gimana? Maaf banget ya baru nengokin kamu. Biasa papamu kemarin sibuk banget.”

Setelah jadi kepala desa dua periode, kini Papa maju jadi calon legislatif.

“Udah mendingan kok, Ma. Kemarin cuma kecapekan aja. Yuk, masuk. Mama nginep kan?” ujarku sengaja berbohong. Soalnya kalau jujur, bisa gawat.

Dulu Mama dan Papa menentang pernikahanku dengan Biru. 

“Pokoknya Mama dan Papa nggak setuju kamu menikah sama Biru. Biru itu udah bersekutu dengan jin. Kalau nanti kamu dijadikan tumbal lagi gimana? Yang namanya sudah bersekutu, nggak semudah itu bener lepas.” Papa menceramahiku abis-abisan.

“Nggak, Pa. Biru beneran sudah bersih sejak pulang dari pesantren. Dia janji taubat nasuha. Tolong kasih kesempatan sekali lagi ke Biru.”

Aku menyesal dulu membela Biru abis-abisan di depan orang tuaku. Sekarang, ucapan mereka terbukti benar.

“Sampai siang aja deh. Mama harus nemenin Papa lagi buat kampanye ke desa ke desa.”

Aku sedikit bernapas lega berkat kehadiran Mama. Setidaknya mengurangi ketakutanku.

***

Lihat selengkapnya