Pesantren Gaib

Ariny Nurul haq
Chapter #1

Prolog

“Nak Cetta hilang.”

Aku melotot. “Hah? Kok bisa? Kan tadi belajar di kelas sama Ustazah.” Giliranku yang panik.

“Tadi Nak Cetta ingin pipis. Saya antar ke toilet. Ketika saya tunggu di luar, Ustazah Nuri manggil. Dia minta tolong di ruang guru. Begitu saya balik ke toilet, Nak Cetta udah nggak ada. Di kelas pun nggak ada.”

Azka mengelus pundakku. 

“Mbak Ara, jangan panik ya. Kami bantu cari Cetta.”

Kami semua bergegas mencari Cetta. 

“Cetta, kamu di mana?”

Di luar kantin, aku bertemu dengan santriwati entah namanya siapa.

“Maaf, Kak, numpang nanya. Liat anak kecil umur lima tahun dengan ciri-ciri fisik kulit putih, pipi chubby, mata belo dan memakai jilban pink, nggak?” 

Aku tanyakan ke para santriwati yang lain. “Oh, nggak lihat, Kak.”

“Makasih.”

Aku tanya beberapa santriwati lainnya, ternyata tidak ada yang melihat Cetta. Bahkan mungkin nggak tau Cetta.

Aku cari lagi. Bertemu anak perempuan seumuran Cetta. Mungkin anak ini satu kelas dengan Cetta. Aku pun berjongkok untuk bertanya ke anak ini. “Dek, udah kenal Cetta belum?”

“Udah, Tante. Tadi kami main bareng di kelas.”

Secercah harapan muncul. “Lalu, kamu liat Cetta di mana sekarang?”

“Tadi ke toilet. Nah, sampai sekarang nggak melihat lagi, Tante.”

Mentalku down. “Oh, gitu ya. Makasih, Dek.”

Muncul Dinda, Idha dan Azka. 

“Kalian nemuin Cetta, nggak?”

“Kami udah cari ke mana-mana, tapi nggak ketemu.”

“Ya udah cari lagi.”

Aku melanjutkan pencarian. Gazebo halaman depan, kamar, toilet, kelas, musala, sampai taman bermain belakang, sudah kutelusuri. Namun, tidak ada keberadaan Cetta. Aku jadi frustrasi. Lalu, teringat ada satu ruangan yang belum dijamah. Ruang telarang dimasuki santri. Pas sekali aku berada di depan ruangan itu. Ada keraguan antara buka atau tidak bersarang di pikiran. Kalau buka, efek yang akan terjadi apa?

“Udah buka saja. Siapa tau Cetta ada di dalam dan terkunci dari luar. Yang lain nggak akan tau kok kamu masuk ke ruangan terlarang itu.”

Seolah ada bisikan mengatakan hal itu. Akhirnya tanpa kusadari, tanganku membuka pintu ruangan terlarang. Ternyata tidak terkunci.

“Cetta, kamu ada di dalam sini?” tanyaku takut-takut ketika melangkah memasuki ruangan terlarang.

Ruangan terlarang ini seperti gudang biasa. Berdebu, lembab dan dipenuhi barang pesantren yang sudah tidak terpakai. Kenapa terlarang ya? Aku pribadi sama sekali tidak merasakan hawa seram seperti yang diceritakan para teman sekamarku.

Seseorang menyentuh pundakku. Aku kaget dan langsung menoleh ke samping. Ustazah Eni.

“Kamu ngapain di sini? Kan, sudah saya bilang jangan coba-coba ke ruangan terlarang ini!” hardik Ustazah Eni.

Lihat selengkapnya