Hawa dingin sangat terasa menusuk di tulang. Udara pagi memang segar dan sehat untuk paruh-paruh. Titik embun menempel di daun pinus yang hijau menambah indah suasana pagi. Gus Shaffat menikmati pagi dengan berlari-lari kecil menempuh jalan setapak yang kanan kirinya tumbuh pohon pinus. Hutan yang masih lebat itu menjadi tempat istimewah baginya. Jarak jalan setapak yang lumayan dekat dari gedung pesantren membuatnya tidak pernah absen berolah raga selepas jamaah subuh, meski hanya 15 menit. Suasana masih tertutup kabut tebal ketika ia kembali memasuki gerbang yang menutupi indahnya bangunan asrama pesantren berlantai empat. Lantunan nadzam Alfiyah mulai terdengar sayup-sayup mewarnai pagi. Beberapa anak tampak menenggelamkan diri bersama kalam Ilahi,menambah tentram suasana hati. Kegiatan pagi pesantren Al Mumbith telah dimulai. Pensantren ini memiliki unit pendidikan yang lengkap. Pendidikan formal mulai dari TK hingga perguruan tinggi. Sedangkan pendidikan non formal dimulai dari diniyah ula, wusta hingga ulya. Penghuni kamar sudah banyak berkumpul di aula-aula dan masjid untuk mengikuti pengajian pagi. Santri usia SMP dan SMA mengikuti pengajian yang dibimbing oleh ustad atau ustdzah, Gus dan ning. Sedangkan para mahasantri wajib mengikuti pengajian tafsir yang diasuh sendiri oleh kiai Yusuf di masjid Talibin. Hampir semua santri putra memakai baju taqwa songkok. Tidak satupun wajah mereka tampak jenuh ketika kalam Ilahi dipelajari dengan mendalam.
Dengan tenang Yai Yusuf membacakan kalimat demi kalimat dari isi tafsir Jalalain. Suaranya terdengar berwibawa dan tegas meskipun usianya sudah lebih dari enam puluh tahun.
“Orang yang beriman Yaitu orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Dosa kecil itu semisal berpegangan tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Berciuman dan berdua-duaan” Yai Yusuf menjelaskan. Tampak beberapa santri senyum-senyum salah tingkah “kang-kang, rah oleh ngelakuni ngunu, loh” seketika suara riuh terdengar. Mereka tertawa menanggapi wejangan kiai
“Ciyeee.. denger, tuh Hilman” suara Irwan menyahut
“Ha..ha…” terdengar suara yang lain saling menyahut tertawa.
“Kang Hilman pacaran?” pertanyaan Yai Yusuf kontan menjadikan tawa semakin keras. Hilman meringis dan menunduk. “ra usah pacar-pacaran, kang. Sok mben rojaban melu nikah masal wae[1]”
Nikah masal yang dilaksanakan pada bulan Rajab menjelang Ramadhan memang menjadi kegiatan tahunan di pondok. Pesertanya kebanyakan dari santri putra dan putri Al Mumbith. Jika ada warga kampung atau pesantren lain,biasanya hanya sekitar 10 persennya saja.
“Ibn Hajar al Haitami menyebutkan di dalam kitabnya Al Zawajir ‘an Iqtiraf al Kabair, bahwa tidak ada dosa kecil. Semua dosa itu besar.dalam kitabnya, beliau membagi dua hal mengenai dosa. Yaitu, dosa yang bersifat batin dan dhahir. Dosa kecil, jika dilakukan oleh orang yang solih, maka bisa saja hal itu dianggap sebagai dosa besar karena mereka tidak pernah melakukan kesalahan-kesalahan yang dianggap besar.”
“seperti contohnya, kentut. Sebenarnya kentut itu ya,dosa kecil. Tapi kalau dilakukan di dalam majelis dan dihadapan orang banyak, ya jadi dosa yang perlu diperhitungkan.” Tampak beberapa santri tertawa tertahan.
Yai Yusuf memang seringkali menjelaskan materi-materi tafsir disertai dengan canda sehingga tidak terlalu tegang. Tapi, jika sudah mengenai bacaan al Quran, Yai Yusuf terkenal sangat disiplin. Bahkan beliau sering membawa tongkat kecil yang dipakai untuk memukul demi mengingatkan bacaan yang salah.meski demikian, tidak satu pun santri yang memprotes Yai Yusuf, karena mereka menyadari bahwa beliau berbuat demikian demi kebaikan
***
Gus Shaffat baru saja merbahkan tubuhnya diatas kapet di dalam kamar,setelah mengikuti pengajian tafsir bersama Yai Yusuf. Terdengar langkah lirih mendekatinya
“Gus Shaffat, dipanggil Gus Haidar.” Sambil merangkak masuk seorang santri menemui Gus Shaffat yang baru saja berisirirahat. Ia hanya menoleh sekilas dan mengangguk. Tanpa disuruh, santri pergi meninggalkan Gus Shaffat. Dengan sedikit malas Gus Shaffat bangkit dan bersiap menemui sahabatnya sekaligus putra pemilik pesantren yang ia tempati sejak lima bulan yang lalu.
Gus Haidar memberikan nasihat kepada Gus Shaffat untuk sedikit menjauh dari adiknya yang tinggal serumah. Gus Shaffat justru memilih tinggal di pesantren milik Yai Yusuf, meski awalnya Gus Haidar menolaknya, namun Gus Shaffat tetap teguh ingin tinggal sementara di sana. Ia merasakan ketenangan hati dan kejernihan jiwa semenjak berada di pesantren. Hingga akhirnya dua hari yang lalu keluarganya menelpon memberikan kabar bahwa abahnya kini sedang sakit dan memintanya pulang. Kedekatan Gus Shaffat dengan Tiya adik tirinya, membuat mereka sering bercerita tentang Gus Haidar yang akhirnya memberikan jalan terang untuk menemukan Gus Shaffat yang telah meninggalkan rumah.
“Gimana,sudah siap?” tanya Gus Haidar yang sudah berada di samping mobil Alphard putih sambil membawa kunci. Gus Shaffat hanya mengangkat bahu “kamu tidak membawa baju ganti?” Gus Haidar kembali bertanya. Pagi ini mereka akan pergi ke rumah sakit tempat Yai Husnuddin dirawat.
“Aku hanya menjenguk sebentar saja. Aku ikut balik ke pondok bareng kamu.” Gus Haidar memasuki mobil dan duduk di jok depan
Dua jam kemudian mereka sampai di tujuan. Ada sedikit rasa hawatir dalam hati Gus Shaffat. Meski bagaimana pun, ia merasa bersalah telah meninggalkan keluarganya, apalagi sampai membuat abahnya di rawat. Pintu kamar VVIP terbuka pelan. Suasana sangat sepi. Hanya ada Yai Husnuddin dan Nyai Maqdah di dalam. Melihat Gus Haidar dan Gus Shaffat yang datang, Yai Husnuddin sedikit terkejut.
“Subhanallah, Shaffat”
“Assalamualaikum, Abi.” Gus Shaffat mencium punggung tangan Yai Husnuddin. Dipeluknya putra pertamanya dengan erat. Nyai Maqdah tampak berkaca-kaca
“Sehat-sehat kamu, Nak?” tanya Yai Husnuddin. Gus Shaffat mengangguk. Hatinya perih ingin menangis melihat kondisi abahnya yang kian kurus
“Shaffat sehat, Bi. Abi jangan sakit begini. Shaffat hanya pergi ke pesantren. Kenapa abi sampai kurus?.” Ia melepaskan tangannya dan duduk di ranjang. Gus Haidar mendekati Yai Husnuddin ikut mencium tangannya.
“Iya, Abi hanya sedikit capai.” Yai Husnuddin mencoba duduk bersandar dengan bantal. Buru-buru Nyai Maqdah membantu
“Abi mu memikirkan kamu, Fat. Pergi kok gak pulang-pulang. Mbok yo kasih kabar gitu!” Nyai Maqdah menimpali. Gus Haidar merunduk. Dari belakang ia menyikut lengan Gus Shaffat.
“Iya, Mi. Umi dan Abi tenang saja, Shaffat ke pesantren untuk mengaji lagi”
“Tugas kamu mengajar bagaimana?” Nyai Maqdah kembali bertanya
“Saya sudah izin, Mi. Cuti dua semster”
“Dua semester?” Nyai Maqdah terdiam sejenak dan berpikir “satu tahun? Kamu gak pulang hari ini? Balik ke pondok?” Nyai Maqdah menyerbu dengan banyak pertanyyan. Gus Shaffat hanya diam. Tampak Yai Husnuddin menghela napas. Sejenak suasana hening dan sedikit menjadi tegang.
“Ya, sudahlah, Mi. Biarkan saja Shaffat di sana. Dia sudah dewasa dan mengerti dengan keputusan yang terbaik yang dia pilih. Yang penting sekarang aku sudah tahu dia berada dimana.”
“Loh. Kemaren Abi yang ngotot pengen ketemu Shaffat. Sekarang sudah ketemu malah dibiarkan pergi” Nyai Maqdah memprotes suaminya.
“Gimana lagi. Kamu tahu sendiri watak putra mu. Dia tidak akan mudah ditahan. Gus Haidar, saya nitip putra kami yang ganteng ini, ya.” Yai Husnuddin menoleh ke arah Gus Haidar sambil tertawa
“Tenang mawon, Yai. Saya akan menjaganya. Jika perlu akan saya carikan jodoh buatnya juga.” Gus Shaffat meninju lengan Gus Haidar yang menjawab dengan sedikit bergurau.
Menjelang ashar mereka berpamitan. Kehawatiran Gus Shaffat tidak terjadi. Ia pulang dengan lega. Sepanjang perjalanan berangkat ia sedikit galau karena takut bertemu dengan Tiya adik yang sangat ia sayangi. Ternyata, hampir setengah hari ia menemani abinya, Tiya tidak datang karena sedang mengajar di pesantren.
· * **
Ponsel Gus Haidar berdering. Panggilan masuk Yai Yusuf membuatnya menepi dan menghentikan mobilnya.
”Assalamualaikum. Abi” Gus Haidar dengan seksama mendengarkan suara Yai Yusuf dari seberang. Sesekali ia hanya menjawab dan kemudian dimatikan. Tampak sedikit rona kesal di wajahnya.