PESANTREN IN LOVE

Lailatul Rif'ah
Chapter #3

Santri baru#3

Pov Farah

Suasana aula rapat mulai ramai. Satu persatu para peserta rapat yang dihadiri oleh pengurus pondok dan asatid menempati tempat duduk yang melingkar mengelilingi meja. Event seperti ini akan sering terjadi menjelang tahun ajaran baru atau penutupan masa ajaran sekolah diniyah sesuai tahun hijriyah. Malam ini akan diadakan rapat persiapan masa ajaran baru yang akan dimulai sekitar tiga bulan lagi. Namun, para calon pendaftar sudah banyak yang berdatangan untuk sekedar cek lokasi dan mencari info seputar kegiatan pesantren, bahkan sudah ada yang langsung menginap demi masa percobaan karena takut kalau tidak kerasan.

       Santri laki-laki dan perempuan hampir tidak pernah bertemu dalam banyak kegiatan, kecuali jika ada acara tertentu seperti acara haflah akhir sanah, kegiatan HMJ untuk para mahasiswa juga ketika rapat seperti ini. Jujur saja, aku bukan type wanita yang suka berkumpul dan menghadiri kegiatan yang diikuti oleh lawan jenis. Tapi, Mbak Zakiyyah sang Raisah Ammah[1] sering mengikut sertakan aku dalam setiap acara. Alasannya sepele. Dia bilang karena aku sudah sering ikut acara di luar dan lincah. Tapi kalau menurutku, ada alasan lain yang membuat kami nyaman untuk berdekatan dan saling curhat. Mbak Zakiyyah usianya jauh lebih tua diatas ku. Kemungkinan bulan Rajab besok dia akan ikut melaksanakan nikah masal yang diadakan setiap tahun di pondok.

Meja melingkar hanya diisi oleh para ustad, sedangkan kami santri putra dan putri berjejer di kursi samping kanan dan kiri. Ruangan aula yang luas sudah mulai penuh. Suara berisik dan bisikan saling terdengar. Itu sudah biasa terjadi, maklum bagi santri yang jarang bertemu antara laki-laki dan perempuan akan saling lirik-lirik dan curi pandang. Namun, sudah tiga kali ini dilaksankan rapat, teman-teman mahasiswi tidak lagi membicarakan kang Amin si manis yang menjadi keamanan. Tapi hadirnya Gus Haidar dan sahabatnya Gus Shaffat begitu menarik perhatian. Gus Haidar yang selama ini jarang mengikuti rapat, kini begitu aktif dan sangat antusias semenjak datangnya Gus Shaffat. Mereka berdua sosok yang patut dikagumi. Selain karena memang aura energi positif serta terkenal dengan kecerdasaanya, ditambah lagi dengan nasabnya yang mulia, mereka berdua memiliki wajah yang begitu tampan dan bercahaya sepeti ada ajian pemikat. Meskipun mereka tidak sama, namun keduanya sama-sama berkulit putih, tinggi dan berdidakasi. Gus Shaffat memang memiliki tubuh yang lebih berisi dari Gus Haidar tapi bukan gendut,loh. Sedangkan Gus Haidar memiliki wajah yang tirus dan berkacamata.

        Selama hampir satu jam, tidak ada yang menarik perhatianku pada rapat kali ini. Seperti biasa yang dibahas adalah kepanitiaan PPSB (panitia penerima santri baru) untuk putra dan putri dan sudah sejak dua tahun Mbak Zakiyyah merekomendasikanku sebagai ketua panitia penerima siswi baru dan itu membuat aku lebih sibuk. Malam ini aku ingin menolak, tapi Gus Haidar tidak memberikan aku kesempatan untuk berbicara. Berkali-kali aku mengangkat tangan ingin memprotes, tak pernah dihiraukan. Sepertinya Gus Haidar tahu maksud tanganku yang mengacung-acung. Akhirnya aku hanya diam dan sedikit sebal.

Ngapunten, Gus. Saya ada sedikit usulan. Untuk memberikan ta’dib[2] bagi santri putri, bagaimana kalau bagi pelanggar diberikan kerudung yang berbeda dengan diberi sablon sebagai tanda. Karena sering terjadi mbak-mbak yang dalam masa hukuman keluar masuk pesantren seenaknya. Padahal bagi para pelanggar ada masa dilarang izin keluar gerbang pesantren” suara Mbak Zakiyah yang tegas membuat aku tertarik. Ini sudah dibicarakan denganku sebelumnya. Aku tiba-tiba bersemangat menyimak.

“Ehm, coba perjelas lagi, Mbak” Gus Haidar tanpak masih bingung

“Jadi begini, Gus. Untuk santri putri yang melanggar akan kami beri kerudung husus dengan tanda sablon di belakang. Nanti kata-kata untuk sablonannya bisa dimusyarwarahkan. Entah diberi kata sedang dita’dib atau sedang dihukum, yang penting ada tandanya” Mbak zakiyyah kembali menjelaskan. Gus Haidar terlihat mangut-mangut

“Baiklah, silahkan langsung saja karena waktu sudah mulai larut, barangkali ada yang ingin memberikan usulan untuk kata-kata sablonan untuk kerudung?” Gus Haidar diam sejenak mengamati seluruh ruangan “atau langsung kita setujui saja kalimatnya seperti yang diusulkan Ustadzah Zakiyyah?” sambung Gus Haidar.

Semua terdiam, sepertinya para hadirin sudah setuju atau memang sudah capai. Kepalaku tiba-tiba gatal ingin ku garuk. Tanganku pelan ku naikkan. Tiba-tiba Sandi yang duduk di sampingku menahan lengan siku tanganku dan mengangkatnya.

“Iya, Mbak. Silahkan kalau mau usul” Suara Gus Haidar mengagetkanku, jari telunjuknya juga mengarah tepat di arah aku dan Sandi. Aku terbelalak. Gila! Dasar kau Sandi. Aku gelagapan dan gugup. Sama sekali aku tidak punya ide atau usulan apapun. Aku menoleh ke sandi yang menutup wajahnya sambil cengengesan, ingin sekali ku pukul wajahnya.

“Ayo, Mbak. Ini sudah malam” aku semakin jengkel ‘dari tadi ya memang sudah malam, Gus’

“I...iya, Gus” aku terbata bingung sambil berpikir harus berbicara apa. Semua mata tertuju pada ku. “Bala-bala, Gus” tiba-tiba suara ku keluar. Aku menggigit bibir. Gus Haidar dan Gus Shaffat saling memandang.

“Apa maksudnya?” Gus Haidar yang biasanya humoris, kini tampak menakutkan

“Iya, Gus. Bala-bala. Singkatan dari Bagi pelanggar tolong bantu lapor” aku bernafas lega. Aku tidak peduli usulku diterima atau tidak, yang terpenting sudah memberikan usulan. Aku melirik Mbak Zakiyyah, dia menepuk jidatnya. Artinya ini sudah sangat fatal.

Aku mendengar gelak tawa santri putra, juga ada sebagian ustad yang menahan tawa. Ah, biarkan saja, aku tidak peduli. Mending aku memberikan usulan dari pada hanya menertawakan usulan orang lain.

“Kalimat apa itu, Mbak?” Gus Haidar tampak semakin bingung “apa tidak ada yang lebih aneh lagi?” suara tertawa semakin keras.

“Itu seperti nama makanan” Gus Shaffat ikut menyahut sambil menahan tawa “iya, di tempatku itu nama makanan.”

“Haduh, ada-ada saja, Mbak. jenengan ini. Ya, sudah. Barang kali ada usulan yang lain” sepertinya Gus Haidar tidak menyetujui usulanku. Biarkan saja, toh, aku juga asal saja bicara. Sampai beberapa menit masih terdengar lirih suara cekikikan tawa, namun tidak satupun mengeluarkan ide mereka.

“Sepertinya lebih bagus kita pakai idenya Ustadzah Zakiyyah saja, ya?” Gus Haidar akhirnya memutuskan

“Eh, sebentar. Tapi menurutku lebih baik kita tanya alasannya dulu, kenapa Mbak... siapa tadi?” Gus Shaffat menyela

“Farah” Gus Haidar tanpak berbisik  

“Oh, ya. Mbak Farah. Silahkan mengutarakan alasannya mengapa memilih kata bala-bala”

Upst. Rasanya ingin segera kabur saja. Aku benar-benar tidak punya alasan tentang ini. Ditambah lagi ekspresi Gus Shaffat ketika menirukan kata bala-bala dengan sambil menahan tawa membuatku semakin gelisah. Aku menoleh ke arah Sandi. Dia mengacungkan jempol ke arahku.

“Ide mu baGus sekali. Bilang saja supaya tidak mencolok, kasihan kalau malu” sambil berbisik di telinga ku. Aku langsung mengerti maksudnya. Aku tersenyum lebar. Ku tepuk-tepuk bahunya

“Mbak, tolong segera dijawab” Gus Haidar mengingatkan

“Iya, Gus. Jadi begini. Kenapa kami usulkan kalimat tersebut. Itu karena supaya yang memakai kerudung tidak terlalu menanggung beban psikis. Meskipun kita semua juga akan mengerti si pemakai kerudung itu sedang dalam pengawasan. Tapi kita juga tidak seharusnya membebani mereka dengan kalimat-kalimat yang kurang enak. Bukankah lebih baik dengan kalimat yang sederhana.” Aku melirik Mbak Zakiyah yang terlihat lega

“Bagus juga alasannya menurut ku. Bagaimana kalau kita setujui saja? Lagi pula ini sudah larut,bukan begitu, Gus?” Gus Sahffat seperti memberi intruksi untuk Gus Haidar.

“Baiklah. Kita setujui ya. Supaya tidak terlalu lama. Atau kalau memang perlu dilanjutkan, silahkan saja dilanjutkan secara interen bersama pengurus putri. Ini menurut saya tidak terlalu penting untuk dibahas panjang lebar di sini”

Aku terbelalak. Usulku diterima. Gus Haidar menutup rapat dan meninggalkan ruangan diikuti para asatidz dan pengurus putra. Sandi menepuk bahu ku. Matanya mengedip nakal. Aku masih sebal, semua gara-gara dia. Aku masih mendengar dari luar suara pengurus putra membicarakan kata bala-bala sambil tertawa. Aku sedikit heran, apa yang lucu dengan kalimat bala-bala

·        * * *        

Pov Gus Haidar

Aku meningalkan ruangan rapat. Gus Shaffat tampak memburu ku. Kepala ku terasa pening. Rapat hari ini seperti menguras pikiran dan tenaga. Aku ingin segera sampai di kamar dan tidur.

“Gus. Siapa tadi?” suara Gus Shaffat sedikit mengagetkan ku

“Siapa?” aku balik bertanya

“Jangan pura-pura ngak tahu” Aku sudah menduga kalau Gus Shaffat bakalan penasaran sama dia. Jujur ada rasa hawatir, kalau-kalau teman karib ku ini akan menyukainya. Entahlah sejak kapan aku mulai memperhatikan Farah “santri putri yang mengusulkan bala-bala”

Lihat selengkapnya