PESANTREN IN LOVE

Lailatul Rif'ah
Chapter #4

Jatuh Cinta#4

Gus Haidar melirik alroji yang melingkar di tangan kirinya, menunjukkan pukul empat lebih. Ia segera melompat untuk melaksanakan tahajud yang sudah hampir terlambat. Gus Shaffat juga sudah bangun. Gus Haidar hanya melaksanakan dua rakaat salat tahajjud dan tiga rakaat witir. Suara adzan Subuh telah mendayu menggema seantero pesantren. Irama khas milik kang Amin sering membuat baper mbak-mbak santri putri, itu yang sering terdengar dari pergosipan keamanan pondok. Gus Haidar meninggalkan Gus Shaffat yang masih bersimpuh dalam doanya di atas karpet.

Hari ini, Rabu. Hari libur pribadi bagi mereka berdua. Oh ya, perlu diketahui. Di pesantren, lebih memilih hari libur di hari Jumat dan selasa. Berbeda dengan sekolah pada umumnya yang libur di hari minggu. Hari Jumat merupakan hari istimewah. Biasanya digunakan para santri untuk membersihkan area pesantren, membersihkan diri untuk menyiapkan salat jumat atau ziarah ke makam mbah Yai Hasan, pendiri pondok yang juga kakek dari Kiai Yusuf. Sedangkan Gus Haidar dan Gus Shaffat lebih banyak menghabiskan waktu di ribat atau di perpus milik pesantren. 

Setelah salat subuh berjamaah Gus Haidar dan Gus Shaffat kembali ke kamar yang sejak semalam ditempati. Gus Shaffat kembali tidur di atas ranjangnya. Gus Haidar menderas hampir tiga juz al Quran, sedang Gus Shaffat masih terlelap. Sepertinya semalam dia memang tidak tidur. Sesaat kemudian Gus Haidar keluar kamar menuju dapur, berinisiatif menyeduh kopi dan menaruhnya di meja, barangkali ketika mencium aroma kopi, dia akan terbangun. Gus Haidar menatap cendela besar yang menghadap ke arah asrama putri. Tampak sekelompok santri berseragam biru sibuk menyambut para tamu yang mendaftarkan putrinya. Baru beberapa menit saja, ia sudah menemukan sosok Farah yang juga sok sibuk. Ia tersenyum kecil menatap Farah yang tampak kesal setelah membaca secarik kertas ditambah lagi warna kerudungnya yang merah menyala, sangat kontras dengan warna biru dari seragam yang dikenakan. Berbeda dengan anak-anak lainnya yang memkai kerudung biru muda.

Hatur nuwun, Gus” suara Gus Shaffat mengagetkan. Dia sudah duduk di kursi dan menyeruput salah satu kopi yang berada di atas meja.

“Sibuk apa semalam? Mainan hp sampai subuh. Memang sudah punya teman chattingan?” Gus Shaffat hanya tersenyum mendengar pertanyaan sahabatnya

“Jadi, sejak kapan jenengan suka sama si Farah” giliran Gus Haidar yang tersenyum “aku sudah siap mendengarkan curhatan sang pangeran tanpa kuda”

“Mbak Fat, minta tolong diambilkan cemilan gorengan di dapur,ya” Gus Haidar tiba-tiba memanggil mbak khadam yang kebetulan lewat hendak ke dapur

“Injih, Gus.” Dengan segera ia berlalu dan kembali membawa sepiring gorengan dan sepiring lagi pisang

Matur nuwun, mbak” tanpa menjawab, Mnak Fat berlalu “nah, kalau begini kan enak sambil cerita sambil ngemil” tanpa dikomando, Gus Shaffat mecomot gorengan di hadapannya. Gus Haidar yang sejak semalam sudah tak sabar ingin menceritakan isi hatinya, mulai berbicara dengan nada yang santai dan disertai canda. Berbeda dengan Gus Shaffat yang memang dari awal memiliki karakter lebih serius dan dingin.

Beberapa bulan yang lalu, mahasiswa dan mahasiswi tingkat akhir melaksankan tugas PPL. Beberapa kelompok ditugaskan di beberapa desa tetangga sebelah. Gus Yahya, suami Ning Hani putri ketiga Kiai Yusuf meminta jatah satu kelompok mahasiswi untuk ditugaskan ke pondok cabang. Ning Hana memberikan mereka tempat di ndalem selatan yang masih kosong dan hanya berisi kitab-kitab di ruang tamu. Ndalem selatan ini juga biasa ditempati Gus-Gus atau Ning-Ning yang singgah sementara dan terkadang digunakan untuk menginap para tamu. Bentuknya juga sederhana dan minimalis. Sedangkan keluarga Ning Hana tinggal di ndalem utara yang jaraknya tidak jauh dari ndalem selatan. Disebut demikian, karena lokasinya berada di selebah selatan dan utara masjid pondok putri

Lima orang mahasiswi, Farah termasuk di dalamnya. Terpilih untuk bertugas di pondok al Mumbith cabang 2. Mereka sangat kegirangan. Selain tempatnya yang tidak asing, mereka juga dijamin dengan nilai yang baik. Secara logika, tidak mungkin para pamong memberi nilai dengan jumlah total yang minim untuk sesama saudara seperjuangan. Itu sama saja dengan membunuh citra baik para mahasiswi. Begitulah sisi lain dari kehidupan pesantren. Nepotisme yang kemudian dianggap menjadi syafaat adalah hal yang lumrah.

Gus Haidar satu minggu sekali menadapat jam mengajar di sana. Seorang teman ingin meminjam kitab Majmu’ah Fatawa li ibn Taymiyah yang berada di ruang tamu ndalem selatan. Gus Haidar yang tidak mengetahui adanya penghuni para mahasiswi PPL, tanpa ragu mengajak mampir untuk sekalian mengambil kitab yang dipinjam. Setelah hampir mendekati pintu masuk ndalem,terdengar kegaduhan dari dalam. Gus Haidar tidak menghiraukannya. Ia terus saja mengobrol sambil berjalan memasuki ruangan, mempersilahkan duduk temannya dan serius mencari letak kitab yang berada diantara deretan lemari yang berisi hampir ratusan jumlahnya.

Setelah beberapa menit, Gus Haidar mendapatkan kitab yang dicari, kemudian dengan sedikit bersorak ikut duduk di depan temannya.

“Ini dia. Wes ndang, di gowo gawe gerobak[1] karena jumlah jilidnya yang memang begitu banyak. Teman Gus Haidar tampak senyum-senyum

“Kamu sudah nikah, Gus?” tiba-tiba temannya bertanya

“Hah?” Gus Haidar tampak bingung “kamu sudah mencetak undangan ku?” Gus Haidar malah balik menggoda

“Itu harim[2] jenengan?” temannya memberi isayarat dengan jari jempolnya ke arah belakang Gus Haidar.

Seketika Gus Haidar menoleh dan terkejut. Nampak seorang wanita yang tertidur meringkuk. Persekian detik otak Gus Haidar berpikir antara bingung, kaget dan ingin marah. Bagaiamana bisa ada santri yang berani tidur di ruang tamu ndalem. Atau jika memang seorang tamu, kenapa dia sendirian di sini.

“Cantik, Gus” temannya melirik nakal

“He he he. Iya, cantik. Tapi kayak kuntil anak. Bikin kaget saja. Ini, ayo segera di bawa kitabnya. Maaf ya. Aku harus segera pulang. Abi menunggu ku” Gus Haidar beralasan. Ia hanya ingin segera mengetahui bagaimana bisa ada gadis yang tidur di ruang tamu.

“Iya iya, Gus. Aku paham, kok. Segera aku tunggu undangannya” ia kembali menggoda. Gus Haidar segera bangkit memanggil kang khadam untuk ikut membawa kitab-kitab menuju mobil temannya kemudian kembali masuk ndalem

Gus Haidar menatap seksama wajah gadis yang pulas tertidur. Pelan-pelan kakinya ditempelkan ke arah kaki si gadis

“Mbak, mbak. Eh. Bangun” Sambil sedikit menggoyang kaki tanpa menyentuh kulitya, tapi dia tidak juga bangun. Tiba-tiba beberapa anak yang lain muncul sambil duduk merangkak mendekati Gus Haidar dan membuatnya kaget berkali lipat “astagfirullah”

“Ngapunten, Gus” salah satu dari mereka berujar

“Apa ada tamu hari ini?” ada sedikit sangsi dalam hati Gus Haidar. Jika dilihat dari profil mereka, bukan wajah-wajah tamu wali santri yang menginap.

“Mbtoten, Gus. Kami mahasiswi sedang tugas mengajar.”

“Loh. Lalu kenapa teman kalian tidur di sini? Tidak di asrama saja?”

“Ning Hani mengutus kami menempati ndalem,supaya bisa sambil bersih-bersih”

“Oh. Ya sudah. Tolong bangunkan teman sampeyan, Mbak. Suruh tidur di dalam saja. Gak enak nanti kalau ada tamu”

Gus Haidar keluar dan dengan segera menghubungi seseorang dari ponselnya. Ia tampak sedikit marah, rupanya sedang berbiaca dengan Ning Hani saudara kembar Ning Hana. Gus Haidar menyinggung soal mahasiswi yang tinggal di ndalem. Menurut Gus Haidar itu berlebihan bagi santri. Seharusnya mereka bisa tinggal di asrama bersama para ustadzah. Apalagi kejadian tidur di ruang tamu dan kebetulan sedang ada tamu, itu kurang sopan.

“Far, Farah. Ayo bangun.” Keempat temannya mengelilingi Farah. Ia segera bangun

“Hua hua..hu hu...” Farah tiba-tiba menangis.

“Farah. Kok tambah nangis sih. Gus Haidar marah sama kamu”

“Iya, Mbak. Sebenarnya waktu Gus Haidar ada tamu, aku sudah sedikit terbangun. Tapi aku takut. Jadi tak lanjutin aja pura-pura tidur” Farah menjelaskan sambil tersedu

Lihat selengkapnya