Pov Kamala
Pagi masih dingin. Selepas jama’ah salat Subuh aku tidak terburu ke kamar, ku lanjutkan muraja’ah yang telah beberapa hari ku tinggalkan. Skripsi membuat konsentrasi hanya tertuju padanya. Ditambah lagi demam cinta yang semakin membuat hati tidak tenang, meski setiap hari Gus Shaffat memberikan motivasi kepada ku. Jujur saja, aku bahagia. Ini bukan cita monyet atau cinta remaja yang pernah aku rasakan sebelumnya. Cinta ku pada Gus Shaffat, atau mungkin cintanya pada ku yang membuat suasana berbeda. Gus Shaffat sangat dewasa, ia tidak pernah terlihat bucin alias diperbudak cinta karena aku. Memang sih, ia tidak pernah mengatakan sayang atau cinta-cinta tai kucing, apalagi berpuisi seperti dalam surat cinta yang sering aku terima dari para pemuda yang ingin mendekati ku. Caranya menyampaikan perasan dan isi hatinya, begitu terasa bersahaja di hati ku. Oh, Allah, aku jatuh cinta.
Kembali ku susuri lembar-lembar kalam Ilahi hingga waktu Dhuha tiba, sekalian saja salat Dhuha ku lakukan. Belum sampai selesai salam, terlihat dari ekor mata ku, seseorang mendekat dan duduk menunggu di samping kiri ku.
“Ning, Maaf menganggu” Adiba teman satu jurusan dengan ku pelan-pelan berbicara sesaat setelah aku selesai mengucap salam terakhir
“Ada apa mbak Diba, kok kayak serius banget” aku segera bergeser sambil tetap di atas sajadah
“Sudah tahu belum? Barusan ada pengumuman pendaftaran proposal dan munaqosah akan berakhir sekaligus minggu ini.” Aku terbelalak kaget
“Serius, Mbak?”
“Iya, Ning. Coba cek wa, deh” Adiba tampak lebih serius lagi “ kalau seumpama mau daftar proposal saja, bisa. Tapi munaqosahnya semester depan, ikut wisuda tahun depan juga. Tapi kalau bisa proposal dan skripsinya selesai minggu ini langsung ikut sekalian, Ning”
Aku terdiam, aku bingung dan tiba-tiba perut ku terasa lapar sekali
“Kenapa mendadak begitu?”
“Itu karena yang mendaftar di semester ini Cuma sedikit, Ning. Ndak sampai tiga ratus orang dari seluruh jurusan yang ada. Nah, pak Agus meminta teman-teman supaya bisa ikut wisuda semester ini, biar gak molor katanya.”
“Mbak Diba sudah selesai?” aku bertanya dengan harapan dia memang belum selesai.
“Hampir, Ning. Sudah bab tiga. Makanya aku ke sini ngajak jenengan barengan” aku bangkit dan mengemasi mukena bergegas berjalan beriringan menuju kamar
“Tanggal berapa ditutup, mbak?”
“Tanggal 30, Ning. Masih ada waktu satu minggu lebih sedikit”
Ku raih kerudung dan satu tas berisi perlengkapan modal perjuangan skripsi. Adiba mengikuti dengan map merah yang tak kalah tebal. Kami menuju perpustakaan yang hanya terpisah dengan jalan kampung. Perpustakaan milik asrama pondok cukup besar meski tidak sebesar perpustakaan di kampus kami. Perpustakaan pondok berada di lantai dua gedung serba guna. Lantai kamar kami juga berada di lantai dua. Posisinya saling berhadapan dengan perpustakaan. Ada balkon dan jempatan yang menghubungkan gedung asrama dengan perpustakaan. Aku menengok ke bawah, tampaknya pintu samping lantai satu gedung serba guna masih tutup. Kami berinisiatif melewati jembatan lantai dua. Dan beruntung mbak Kalila sang penjaga pintu sudah berada di sana.
“Ning, ndak sarapan dulu?” Adiba mengingatkan ku. Tiba-tiba rasa lapar kembali menyerang setelah beberapa saat terlupakan.
“Oh, iya” aku menepuk jidat. Aku menimbang antara lapar dan deadline yang melayang di atas kepala “kita makan nasi bungkus saja mbak.” Aku kembali berjalan melewati jempatan yang berhias bunga sulur. Adiba mengikuti langkah ku.
Hinga berjam-jam aku sibuk mencari dan mencatat kitab-kitab turast dan buku-buku yang berjejer di atas rak. Menyatukan data dan referensi yang sesuai dengan judul skripsi ku. Hingga hampir selesai bab dua. Aku merasa sangat lelah dan pusing. Oh, sebodoh itu kah aku. Selama ini memang aku hampir tidak terlalu sering mengerjakan tugas makalah. Apalagi jika tugasnya berkelompok, teman-teman sekelompok mau-mau saja ku sogok dengan traktiran makan mie ayam atau bebek purnama setelah selesai presentasi, asalkan aku hanya ikut maju ke depan mempresentasikan makalah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan jika ada. Aku hanya membaca makalah yang akan dipresentasikan sehari sebelumnya, itu sudah cukup membuat ku mengerti isinya. Bukan tanpa alasan, aku hanya lebih senang bermurajaah dengan hafalan al Quran dari pada pusing membuat makalah yang pada akhirnya bisa saja dibuang. Kini aku sedikit menyesalinya, hanya sedikit saja.
Aku beristirahat sebentar dan membuka ponsel. Tampak tanda pangilan tak terjawab sudah beberapa kali. Gus Shaffat menelpon, aku merasa sangat bahagia. Ku sempatkan melihat-lihat status wa yang berkelebat sampai akhirnya Gus Shaffat kembali menelpon. Buru-buru aku mengangkatnya. Sesungguhnya, aku juga ingin menelpon duluan, tapi rasa gengsi ku lebih besar dari keinginan ku.
“Assalamualaikum” kami mengucap salam bersamaan, dan menjawab bersama pula. Aku tersenyum. Sesaat kami saling diam
“Sudah sarapan, Ning?” Gus Shaffat berbasa basi. Itu pertanyaan yang sebenarnya tidak tepat diucapkan di jam menjelang waktu dhuhur. Tapi, memang benar aku belum sarapan sejak pagi.
“Belum, Gus”
“Loh, kenapa? Nanti sakit malah gak bisa ngerjakan tugas” kalimat yang biasa dilontarkan kekasih pada yang dicintainya. Terlalu basi tapi memang nyata adanya. Aku merasakan perut mulai perih
“Iya, Gus. Ini lagi mengerjakan tugas. Harus selesai minggu-minggu ini. Saya sampai sering meninggalkan murajaah” aku mulai curhat
“Wah, jangan seperti itu, Ning ku yang cantik.” Sebelumnya Gus Shaffat tidak pernah menggombal seperti itu,darah ku sedikit berdesir. “gini saja, jenengan kirim alamat email jenengan, ya. Biar saya bantu kerjakan. Jenengan fokus sama hafalan al Quran dan jaga kesehatan saja. Nanti kalau sudah selesai,saya kirim melalui email.”
“Tapi, Gus...” belum sempat aku melanjutkan ia sudah memotong
“Sudah, saya mohon jangan menolak ya, Ning” aku hanya diam mendengarkan suara merdunya dari seberang. “sudah, jenengan tutup telponya, segera kirim alamat email”
“Iya, Gus”
“Oh, ya. Sekalian tulisan jenengan yang seadanya” aku mendengar nada suaranya yang sepertinya sambil tersenyum. Gus Shaffat pasti sudah tahu, aku mengerjakan skripsi tidak sampai sepuluh persenya.
Segera ku tutup ponsel dan mengirim alamat email melalui wa. Aku berharap tidak merepotkan Gus Shaffat. Tapi, ia hanya menjawab ‘ini hanya tugas sederhana yang biasa ia lakukan’. Gus Shaffat juga berjanji akan menyelesaikan skripsi ku dalam jangka waktu seminggu. Tiba-tiba aku merasa sangat bersyukur bisa mengenalnya. Aku masih teringat pertemuan pertama dengannya. Aku begitu marah karena aku mengira Gus Shaffat adalah kang-kang tukang supir pondok, ditambah lagi ia terlalu banyak bicara.
Gus Shaffat menepati janjinya. Skripsi ku dikirim melalui email dua hari sebelum pendaftran ditutup. Awalnya ia ingin mengunjungi ku ke pondok untuk sekalian mengirim skripsi dalam bentuk print out. Aku menolaknya, karena itu tambah semakin merepotkan. Dengan segera aku dan Adiba yang selesai satu hari lebih awal dari ku, mendaftar bersama-sama. Kami menyempatkan ke warung mak Opah, warung belakang asrama yang terkenal enak. Aku mentraktirnya. Adiba termasuk teman yang sering ikut makan gratis bersama ku. Ia terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Tapi ia memiliki hati yang baik dan otak yang cerdas. Ketika aku dikunjugi ummi, Adiba sering ikut bersama ku. Ummi juga kerap memberinya uang saku padanya.
“Gimana, Ning?” pesan wa dari Gus Shaffat muncul di layar ponsel
“Apanya, Gus?” aku balik bertanya
“Sudah daftar munaqosahnya”
“Alhamdulillah, sudah, Gus”
“Alhamdulillah...”
“Hatur nuwun sanget, Gus”
Ia hanya memeberi balasan emoticon senyum