Gerimis tipis sore hari, membuat suasana hati ku semakin syahdu. Seakan hawa surga telah dikirim ke bumi. Aku duduk di sofa yang berada di teras, menunggu Abi mengaji kitab Ihya Ulumuddin. Setelah semalam aku memantapkan hari mengungkapkan perasaan kepada Farah, hari ini aku berniatan meminta izin untuk menikahinya dan ikut serta dalam acara tahunan nikah masal yang selalu digelar bulan Rajab di pesantren. Aku memiliki keyakinan bahwa Farah tidak mungkin menolak lamaran ku, jika Abi yang memintanya langsung. Samar-samar dari dalam aku mendengar suara Abi berbincang dengan Ummi. Ternyata Abi sudah di dalam dan tidak datang melalui pintu depan. Hati ku sedikit bergetar. Hampir saja aku bangkit dari kursi, ketika Abi dan Ummi justru keluar dan ikut duduk di sofa.
“Enak, Leh. Gerimis-gerimis nyemil Telo godokan” Abi mengambil ketela kukus yang sejak tadi berada di meja.
“Iya, Bi.” Aku hanya menjawab singkat. Otak ku mulai berputar, memikirkan bagaimana cara menyampaikan keinginan ku ke Abi, sekalian mumpung ada Ummi. Mereka kembali mengobrol santai, sedang aku tidak konsentrasi mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
“Haidar, gimana menurut kamu,kalau Kamala kita nikahkan besok Rajab.” Ummi membuyarkan kata-kata yang sempat aku rangkai dalam pikiran. Aku terkejut
“Pripun, Mi?” aku bertanya dengan bingung
“Yai Ahmad, seminggu yang lalu meminta Kamala untuk putranya.” Abi ikut menjawab.
“Yai Ahmad saking dusun Garingan?” aku bertanya memastikan. Ummi mengangguk “Abi dan Ummi sudah terima lamarannya?”
“Iyo, lah kenapa ditolak. Di sana ada pondok husus tahfidz putri. Nanti Kamala bisa bermanfaat” jelas Ummi. Aku terdiam sedikit ragu, Kamala mungkin tidak bisa menerimanya. Dia tergolong perempuan yang tidak suka dipaksa, apalagi belakangan ini,dia seperti sedang alergi dengan topik yang berhubungan dengan pernikahan. Aku juga teringat dengan Shaffat yang juga sepertinya tertarik pada Kamala.
“Eh, kamu sudah siap nikah belum?” Ummi kembali mengagetkan ku. Aku tersenyum, mungkin ini saat yang tepat untuk mengatakan isi hati ku “biar sekalian mantu dua. Iya kan, Bi?”
“Iya” Abi menjawab singkat dan serius “wis siap, toh?”
“Siap mawon, Bi” aku menjawab dengan mantab. Mereka berdua seketika terbahak
“Tumben anak kita ini, biasanya adem ayem ternyata sudah pengen nikah” Ummi menggoda ku.
Belum sempat aku mengatakan apa-apa, dari jauh tampak Kang Amin sedang menuju ke arah kami. Jarak kurang dari satu meter ia berjongkok sambil berjalan menuju Abi dan mencium punggung tangan Abi
“Ada apa Kang Amin?” Abi langsung menanyainya
“Bade matur, Yai”
“He em.”
“Nyuwun ridha dan pangestu, insya Allah Rajab saya ikut nikah masal, Yai”
“Alhamdulillah” Abi dan Ummi hampir bersamaan. Aku juga ikut bahagia. Kang Amin yang biasanya menjadi idola santri putri, akhirnya mengakhiri masa lajangnya.
“Kamu nikah sama siapa, Kang? Saya jadi penasaran, santri putri banyak yang ngefans loh, sama kang Amin” aku bertanya karena benar-benar penasaran
“Sama Farah, Gus” jantung ku serasa berhenti berdetak. Belum genap satu jam duduk di teras,sudah tiga kali aku terkaget-kaget.
“Fa, Farah yang mana?” terbata-bata aku kembali bertanya
“Farhatina Jamalati Nuridzatillah, Gus”
‘plas’ rasa hati ku benar-benar ambyar. Baru tadi malam aku menyelipkan puisi cinta dan melambungkan harapan ke atas langit. Tapi, badai dan petir mengembalikan harapan ku mentah-mentah.
“Sejak kapan, Kang?” aku terus memburunya. Rasa cemburu sudah di ubun kepala ku
“Sudah lama, Gus” hati ku terasa diiris belati. Aku malu dan ingin marah. Mengutuk diri sendiri, bodoh sekali aku. Tidak pernah ku pikirkan, jika mereka memang sama-sama santri yang menjadi idola. Yang laki-laki menjadi idola para santri putri. Begitu juga Farah, semenjak aku sering perhatian padanya, aku sering mendengar dia mendapat banyak kiriman hadiah dari pondok putra. Namun, ketika itu, aku tidak pernah peduli. Karena, aku yakin dia wanita yang cuek. Ternyata aku benar,dia memang cuek, bahkan pada diri ku.
“Tapi, saya belum berbicara dengan orang tuanya” Ya Karim, aku kembali terkejut. Apa-apaan ini “saya berniatan untuk meminta tolong Kiai melamarkan Farah untuk saya” kang Amin berbicara sambil tersipu.
Memang, Abi sering dimintai tolong para santri untuk melamarkan wanita idamannya. Tapi,Abi hampir tidak pernah menjodohkan mereka atas keinginan dan inisiatif Abi sendiri. Aku merasa dikalahkan satu langkah oleh kang Amin. Seharusnya sejak tadi aku mengatakannya lebih dulu. Paling tidak Abi bisa membuat pertimbangan antara keinginan ku dan keinginan kang Amin. Tapi, jika mereka memang saling mencintai, aku hanya bisa menahan sakit hati.
Aku menatap Abi yang terdiam. Aku berharap Abi menolaknya. Tapi, apa alasannya.
“Baik,insya Allah” pupus sudah harapan ku, mendengar jawaban Abi menyanggupi permintaan kang Amin “besok sore, datangkan orang tua kang Amin dan orang tua mbak Farah ke sini, ya. Kita rembukan bersama”
Aku melafazkan hauqalahI berkali-kali. Meminta pertolongan kekuatan hati. Untung saja hati ini ciptaan Allah, seandainya ciptaan pabrik, pasti sudah tidak akan ada tukang service yang bisa membenahinya. Kang Amin pamit kembali ke pesantren. Sayup-sayup mulai terdengar lantunan ayat suci dari masjid, tanda adzan magrib segera berkumandang. Tiba-tiba nada sika yang dilantunkan oleh qari terkenal melalui rekaman tua yang ku dengar sore ini, terasa sangat pilu dan menyayat hati. Embun di mata ku hampir menetes, seakan karena mendengar kalam Ilahi yang menjadi sound track derita hati ku.
Abi bangkit meninggalkan aku dan Ummi. Namun, hanya sejenak kemudian kembali berdiri di depan pintu
“Oh, ya. Pak Burhan teman ayah mondok dulu di pondok gontor, meminta mu untuk jadi mantu. Siapa, Mi nama anaknya?”
“Mutif, Bi”
“Iyadia santri baru di sini. Tadinya Abi dan ummi tidak setuju, tapi berhubung kamu sudah siap menikah, ya, Alhamdulillah, gak papa sekalian dua bulan lagi barengan sama adik mu.” Tanpa menunggu jawaban dari ku, Abi berlalu ke dalam mempersiapkan diri untuk salat berjamaah.
“Siapa itu, Mi? Mutif?” dengan lemas aku bertanya
“Santri baru yang keluarganya ke sini waktu ada acara aqiqah”
Lengkap sudah derita ku. Aku tidak mungkin begitu saja menarik ucapan yang sudah aku lontarkan. Menyesal tidak ada gunanya. Tapi, setidaknya, aku harus menyusun rencana sebelum benar-benar terjadi perjodohan yang menimpa diri ku. Jika memang Mutif adalah jodoh ku, setidaknya, jangan menikah di saat patah hati begini. Aku yakin itu tidak akan baik bagi diri ku dan dirinya.