Pagi ini aku menyempatkan diri datang ke rumah Ustad Ma’arif. Dengan membawa sedikit oleh-oleh, ku temui Ustad Ma’arif yang sedang duduk santai di teras dengan memakai sarung dan tanpa baju sambil membaca koran pagi. Meski pendengarannya berkurang,tapi hobi bacanya terus berjalan. Ia tidak pernah tertinggal informasi apapun. Baik di dalam dan luar negeri.
Melihat ku datang, Ustad Ma’arif menyambut dengan senyum.
“Silahkan, Ustad” Ustad Ma’arif adalah satu-satunya orang yang tidak pernah memanggil ku dengan sebutan Gus.
Aku menydorkan bungkusan yang ku bawa kemudian duduk di hadapannya. Ustad Ma’arif masuk ke dalam dan mengambil singkong rebus hasil panen sendiri. Ia juga memakai baju rapi.
“Mohon maaf, Ustad. Saya ke sini bermaksud menanyakan hasil istikharah” aku segera berterus terang dengan meyodorkan tulisan di kertas putih. Ustad Ma’arif mengangguk dan tersenyum
“Hasilnya bagus, Ustad.” Kata Ustad Ma’arif sambil tersenyum
“Alhamdulillah” aku juga tersenyum kemudian menyodorkan tulisan kembali. Terlihat Ustad Ma’rif tanpa memakai kaca mata mengerutkan dahi mengeja tulisan ku.
“Saya juga minta doa, jaga-jaga kalau patah hati” tulis ku dalam kertas itu. Sepertinya Ustad Ma’arif sudah bisa menebak. Sebagus apapun hasil istikharah ku, cinta yang ku cita-citakan untuk Ning Kamala, tidak akan mudah. Aku bahkan berfikir, siapapun orangnya yang ingin meminang Ning Kamala dan mencoba beristikharah, pasti akan bagus hasilnya. Karena yang mereka lihat adalah mutiara, sedangkan diri kita, entah apa.
Ustad Ma’arif tampak menuliskan sesuatu dan menyodorkannya kepada ku
“Doa Nyai Ummu Salamah, istri Rasullah. Beliau ketika ditinggal wafat suaminya, berdoa ini. Allah mengganti suaminya yang telah meninggal, dengan Rasullah”
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiu,Allahumma jurni ‘ala mushibati,wakhlif li khairun minha[1]”
Aku menggambil dan membacanya sekilas kemudian pamit. Sepanjang jalan kembali ku amati doa yang diberikan Ustad Ma’arif sungguh terasa menancap di hati. Entah itu karena aku sedang merasakan patah hati, atau memang ini adalah doa yang dibaca oleh istri Rasulullah.
Sesampainya di kamar, aku segera menelpon Ning Kamala. Dengan hati yang selalu bergetar. Kali ini getaran yang ku rasakan beriringan dengan rasa putus asa. Tidak seperti getar sebelumnya. Aku sempat merasakan semangat cinta yang kuat,optimisme dengan segala kekuatan dari doa yang setiap malam mulai ku lambungkan. Tapi,hari ini aku harus rela dengan taqdir yang lebih berkuasa
“Assalamualaikum, Ning”
“Walaikum salam. Masih pagi ini, Gus. nanti saja ya, ngobrolnya” suaranya terdengar bersemangat meski dia menolak ku. Karena, kini aku sudah bisa membedakan suaranya, anatara ketika sedih dan bahagia
“Ning, Ning, tunggu. Saya mau ngobrol sebentar saja” aku segera mencegahnya.
“Baklah” nadanya masih dengan senyuman
“Ning Kamala hari ini akan pulang” aku berkata dengan nada memberi tahu. Tapi, aku juga ragu. Jangan-jangan dia sudah tahu kalau akan pulang.
“Iya, Gus. tadi malam Ning Hana memberitahu”
“Oh, ya sudah kalau begitu”
“Apa jenengan yang akan menjemput?” hati ku pilu. Andaikan saja begitu
“Tidak, Ning.”
“Oh, kirain. Kok jenengan tahu?”
“Iya, Ning. Semua juga sudah tahu”
“Maksudnya? Tahu kalau saya akan pulang?”
“Iya” seketika aku mendengar dia tertawa
“Memang apa pentingnya dengan kepulangan saya?.”
“Apa jenengan belum tahu?memangnya kata Ning Hana, jenengan pulang kenapa?”
“Katanya sih, ada lamaran”
“Iya, betul.siapa yang lamaran?” aku bertanya memastikan apakah dia benar sudah tahu atau belum
“Mas Haidar, kan?” aku ingin menangis. aku mulai dilema. Tujuan ku menelponnya adalah meminta maaf karena selama ini telah lancang mencintainya. Tapi mendengar suaranya yang ceria dan tidak tahu apa-apa, aku rasanya tidak tega.
“Iya, Gus Haidar lamaran. Jenengan juga.” Dengan lirih aku mengatakannya. Kami terdiam beberapa saat. Aku merasa drama balada cinta akan segera dimulai.
“Saya?”
“Iya, Ning. Maafkan saya, kalau lancang memberitahu duluan. Mungkin ini sengaja tidak diberitahukan jenengan, karena buat suprise. Hehehe” aku mencoba menghibur diri
“Jenengan melamar saya” aku terdiam mendengar pertanyaan darinya “Gus, siapa yang melamar saya?” sepertinya dia mulai curiga.
“Yai Ahmad, jenengan akan dinikahkan dengan putra Yai Ahmad, Ning. Bukan saya.” Kami kembali terdiam “maafkan saya, sudah terlambat menyampaikan ke Abah jenengan tentang hubungan kita.”
“Siapa Yai Ahmad, Gus?”
“Yai Ahmad itu yang punya pesantren di desa Garingan. Saya pernah mengantar jenengan dan Bu Nyai ke sana waktu itu.” Itu adalah pertemuan kedua kami. Aku memejamkan mata mencoba menguatkan diri.
“Saya tidak mau, Gus” suara Ning Kamala mulai terdengar parau. Selanjutnya hanya isak tangis.
“Ning.” Aku seperti kehilangan kata-kata untuk melanjutkan “Ning Kamala, harus mau dan nurut sama Abi. Yai Ahmad itu punya pesantren tahfidz husus putri. Saya yakin,Yai Yusuf sudah benar memilihkan pasangan hidup untuk jenengan.” Aku hampir menjatuhkan air mata ku.