Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. Mimpi apa sih aku kemarin-kemarin, sampai harus terjebak di sini? Kurasa apa yang kualami ini hampir mirip dengan cerita di sinetron. Kakekku baru saja berpulang ke rahmatullah dua bulan lalu. Almarhum memiliki serta mengelola sendiri pondok pesantren di sebuah daerah pedesaan. Memang sih, tempat ini tidak terpencil atau berada di pelosok yang jauh dari keramaian. Tapi tetap saja, aku akan berada jauh dari teman-temanku, kehidupanku yang biasa dan banyak hal lain di rumah.
Karena aku sudah hampir empat bulan menganggur, jadilah semua anggota keluarga memutuskan aku harus meneruskan apa yang dikerjakan almarhum kakek di sini. Nasib, nasib. Sudah jadi korban kontrak habis di kantor, sekarang mau tak mau aku harus menerima putusan mereka untuk ‘dimutasi’ ke desa ini.
Tadinya aku memberikan pendapat kepada ayah, ibu dan kedua kakakku, bagaimana kalau pesantren ini dijual saja. Lagipula ayah dan ibu pernah bilang bahwa pesantren ini hampir tidak bisa beroperasi karena kendala biaya. Tapi pendapatku langsung dibantah keras oleh ayah karena tanah pesantren ini merupakan tanah wakaf dari buyut yang diwasiatkan tidak untuk dijual. Bisa kena tulah kalau kami melanggar kata Ayah.
Pandanganku mengitari sekeliling ruangan yang akan menjadi kamarku selama ‘dinas’ di sini. Kamar ini tidak sempit, tapi juga tidak begitu luas. Ada kamar mandi dan wc di dalam. Jadi aku tidak harus repot keluar ruangan. Lagipula, sepertinya aku cukup merasa agak ngeri jika harus sendirian ke wc di seberang tangga saat tengah malam.
Aku mengingat-ingat terakhir kalinya berkunjung ke pesantren ini. Sepertinya sudah lebih dari lima belas tahun yang lalu. Waktu kecil sih aku beberapa kali pernah menginap satu atau dua hari di sini bersama seluruh keluarga saat libur lebaran. Tapi saat itu aku tidak begitu memperhatikan detail pesantren. Apalagi soal operasional semacam itu, mengerti saja juga tidak.
Selepas menguburkan jenazah almarhum Kakek kemarin-kemarin, hanya kedua orangtuaku serta kakak pertama yang berkunjung ke pesantren ini. Sedangkan aku dan kakak keduaku menghabiskan waktu bersama saudara lainnya di rumah peninggalan almarhum kakek.
Kubuka dua koper besar berisi pakaian serta barang-barang yang biasa kugunakan. Wih, melihat isinya, sepertinya akan butuh waktu seharian untuk membereskannya ke lemari. Jadi kututup kembali kedua koper tadi. Aku beralih ke ransel dan mencari ponselku. Dua potong bergo warna hitam dan biru tua menyembul begitu aku membuka risleting. Jemariku meraba permukaan bergo. Bahannya terasa halus dan adem. Aku mendekatkan bergo ke hidung dan menghidu aroma samar dari pelembut pakaian.
‘Untuk kamu pakai selama berkegiatan di sini.’ Perkataan Ummi Rifah tadi tergiang di telinga. Yah, memang aku sebelum ini tidak mengenakan jilbab. Paling ketika ada acara pengajian atau semacamnya saja. Semoga saja ini awal mula yang baik untukku istiqomah menutup diri. Kuletakkan dua bergo tadi di atas meja samping tempat tidur.
Manik mataku bergulir melihat keluar kaca jendela yang belum tertutup tirai. Di luar hanya tampak siluet pepohonan dari cahaya tipis lampu depan bangunan ini. Terdengar alunan merdu ayat suci Al Qur’an dari masjid pesantren. Walau begitu, suasana masih terasa cukup sepi bagiku.