Pesantren Warisan

Rexa Strudel
Chapter #2

2

“Teh Nindi nggak apa-apa?” ujar salah satu siluet hitam tadi di sela tawanya. Suara halus seorang gadis dengan nada khas membuatku sedikit tersadar dari rasa mencekam yang kualami.

“Maap, maap. Saya lupa nyalain senter,” tutur suara siluet lainnya. Kali ini suara ringan pria yang terdengar, dibarengi dengan cahaya terang dari senter yang menyala.

Seketika tubuhku merosot terduduk di lantai. Kutarik udara sepenuhnya masuk ke paru-paru, lantas kuhembuskan napas panjang. Rasanya lega seperti baru saja selamat dari tenggelam dalam air. Telapak tanganku mengusap wajah dan mata yang basah agar bisa melihat jelas kedua sosok di depanku. Wajah mereka tampak cemas bercampur geli.

“Lampu ini emang dari kemaren ngadat. Kayaknya mau putus. Tapi baru tadi saya sempet beliin lampu,” tutur pria paruh baya berpostur kurus tinggi. Tangan berkulit kecokelatan pria itu yang keriput menggenggam sebuah kantung plastik hitam yang kuterka berisi lampu baru. Pakaian yang dikenakannya semacam setelan hitam ala perguruan silat, lengkap dengan sarung tersampir di bahu serta peci hitam di kepala.

“Saya Hasna. Tadi Ummi Rifah minta tolong saya buat jemput Teh Nindi untuk siap-siap sholat Isya. Eh, kebetulan ini bareng sama Mang Said tadi ketemu di pintu depan,” terang si gadis. Sepertinya ia memang lebih muda dari usiaku. Parasnya manis dengan kulit bersih cerah. Jilbab lebar warna biru gelap menutup kepalanya.

Aku yang masih merasa agak terguncang atas kejadian barusan, hanya bisa meringis dan mengangguk-angguk kepada mereka berdua. Kemudian Hasna membantuku untuk bangun dan menepi karena Mang Said akan mengganti lampu yang padam tadi.

Setelah lampu baru dipasang, cahaya terang seakan menyingkirkan suasana mencekam tadi. “Maaf, ya. Saya jadi bikin Mamang dan Hasna kaget,” ujarku dengan malu.

Hasna tampak menahan tawa sebelum menjawab. “Nggak apa, Teh. Namanya juga kaget lampu tiba-tiba padam dan gelap.”

Seketika kami bertiga malah tertawa mengingat kejadian barusan. Apalagi aku yang merasa seperti orang linglung saking takutnya akan gelap.

“Dari sekian banyak doa, kenapa Teteh ingetnya malah doa buka puasa?” tanya Hasna disela tawa.

Aku tidak bisa menjawab dan hanya berusaha mengendalikan tawaku agar berhenti. Ya ampun, memang panik dan ketakutan berlebih kadang bikin orang jadi lupa diri dan bertingkah memalukan. Entah kenapa pula doa buka puasa yang terucap di bibir, padahal Ayat Kursi yang terlintas di pikiranku.

“Jangan cerita ke siapa-siapa, ya. Aduh, aku beneran malu,” pintaku kepada Mang Said dan Hasna dengan wajah panas.

“Tenang aja, Neng. Pokoknya ini mah buat bahan lawakan kita bertiga aja. Yang laen nggak diajak,” kelakar Mang Said.

“Yaudah. Yuk, kita ke masjid biar siap-siap sholat Isya berjamaah,” ajak Hasna masih dengan senyum menahan tawa.

“Ayok, Mang,” pamitku kepada Mang Said yang hendak memindahkan kursi tadi.

“Iyak, Neng. Duluan aja. Mamang mau masang lampu satu lagi di situ,” jawab Mang Said sembari menunjuk kap lampu kosong di eternit bagian tengah koridor kamar.

Kepalaku mengangguk hormat kepada Mang Said sebelum berpaling mengikuti Hasna menuruni tangga ke bawah.

Di ruang bawah yang berupa lobi kecil, hanya lampu di bagian ujung ruangan yang menyala temaram. Terdapat deretan sofa panjang di ruang pojok ruangan dengan lampu, sepertinya itu tempat duduk untuk tamu kunjungan. Kuperhatikan ada tiga pintu tertutup. Sepertinya itu ruang kegiatan administrasi pesantren.

Lihat selengkapnya