Pesantren Warisan

Rexa Strudel
Chapter #3

3

Salah satu kegiatan rutin di pesatren ini adalah sholat tahajud berjamaah. Lantas dilanjutkan dengan tadarusan atau bagi santri dan santriwati bisa mengulang hapalan Al Quran sambil menunggu waktu shubuh. Karena di waktu malam yang tenang seperti ini, pikiran bisa lebih mudah menyerap serta meresapi bacaan Al Quran. Kalau ada yang tertinggal sholat tahajud berjamaah, bisa sholat secara sendiri. Kecuali untuk santriwati yang sedang berhalangan atau santri lain yang kurang sehat.

“Kamar saya ada di depan kamarmu, ya. Kalau ada perlu apa-apa, ketok aja. Atau panggil yang lain juga boleh kalau saya tidurnya kepulesan,” tutur Ummi Rifah sebelum aku masuk ke kamar.

“Iya, Ummi,” jawabku seraya mengangguk. Kami saling mengucap salam sebelum masuk ke kamar masing-masing.

Aku menutup pintu kamar, lalu memutuskan untuk mencuci muka serta mengganti pakaian. Setelahnya karena merasa belum mengantuk, aku berbaring di kasur untuk mengecek ponsel dan membalas pesan dari grup obrolan online keluarga serta orangtua dan teman-teman. Sudah selesai dengan ponselku, mataku belum mau terpejam. Walaupun badan terasa lumayan pegal karena menyetir kurang lebih selama tujuh jam tadi.

Akhirnya aku bangkit dan membuka koper untuk mencari buku bacaan yang kubawa. Setelah memilih salah satu buku, aku beranjak ke meja dengan kursi belajar di dekat jendela. Kupikir membaca sambil menikmati angin sejuk semillir di sini cukup menyenangkan. Jadilah aku membuka kunci jendela dan membiarkannya sedikit terbuka.

Udara kamarku jadi terasa lebih dingin, seperti sedang menyalakan pendingin udara di rumah. Karena hembusan angin, lama-kelamaan kelopak mataku jadi merasa berat. Aku mengerjap beberapa kali serta menguap untuk menghilangkan rasa kering di mata. Tanganku menumpu kepala di meja dan aku kembali menekuri deretan kata di lembaran buku.

Tapi sepertinya rasa kantukku makin menjadi. Beberapa kali aku merasa terlelap sekejap dan tersadar kembali. Sampai kemudian antara sadar dan tidak, aku mendengar ketukan halus di kaca jendela serta suara seorang gadis.

“Teh, tutup jendelanya.”

Aku yang masih belum sadar sepenuhnya, hanya menjawab dengan gumaman mengiyakan. Kuangkat kepala dan melihat sekilas si gadis pucat di luar jendela. Senyum ganjil tampak di wajah gadis pucat itu sebelum berlalu pergi ke samping. Dengan rasa malas, aku berdiri dan menutup jendela serta tirai. Lalu aku beranjak ke kasur untuk tidur.

Begitu tubuh mendarat di atas kasur, mataku terbuka lebar membuat diri tersadar sepenuhnya. Pikiranku malah berusaha mencerna kejadian barusan. Bentar, bentar. Kamar ini kan di lantai dua. Ya, kan? Terus, gimana caranya si gadis pucat tadi ada di luar jendela dan memintaku menutupnya? Dia pakai tangga atau… terbang, gitu?

Entah kenapa kantukku jadi sirna seketika. Rasa merinding serta desiran panas dingin menyerbu tubuhku. Napasku jadi berkejaran dan aku bisa merasakan jantungku berdegup cepat. Lah, lah, keanehan apa lagi ini? Sempat singgah rasa ingin teriak. Tapi kutahan sebisa mungkin karena tidak ingin membuat keributan di malam pertamaku di sini. Lagipula nanti pasti orang-orang berpikir kalau aku berhalusinasi atau yah, memang dalam kondisi lelah dan mengantuk. Seingatku dulu waktu masih kecil, tidak ada hal-hal aneh semacam ini yang kualami.

Kulirik pintu kamar yang tertutup. Apa aku lari saja keluar dan mengetuk pintu salah satu kamar? Tapi mungkin di luar sana malah lebih menyeramkan karena lengangnya koridor. Lalu aku juga tidak tahu kamar-kamar siapa saja di sekitarku selain kamar Ummi Rifah. Belum lagi aku teringat kejadian lampu mati sebelumnya. Kalau terulang lagi, apa nanti yang muncul manusia atau bukan? Dengan berat hati, kuputuskan untuk tetap di kamar ini saja menunggu waktu dibangunkan untuk sholat tahajud.

Lihat selengkapnya