Pesantren Warisan

Rexa Strudel
Chapter #4

4

Aku tidak tahu sudah berapa lama tertidur lelap di dalam masjid ini. Tapi ketika aku membuka mata, tidak tampak seorang pun selain aku. Kemana semua orang? Apa sudah selesai sholat shubuh? Kenapa aku tidak dibangunkan? Suasana masjid juga senyap serta suram. Lampu di eternit seolah tidak memancarkan cahaya dengan maksimal seperti saat sebelum aku terlelap tadi.

Aku bangkit dan melongok ke lantai bawah masjid dari celah tembok di bagian depan lantai atas. Biasanya jika ada sholat berjamaah, masih bisa terlihat imam dan dua barisan terdepan jamaah laki-laki. Namun di lantai bawah juga tampak kosong dan suram.

Perasaan gelisah ganjil yang tidak nyaman mulai menyelimutiku. Degup jantungku kembali berderap cepat. Yaa, Allah. Cobaan apa lagi ini? Aku merasa ingin teriak dan menangis sejadi-jadinya. Tapi kuurungkan karena merasa malu kalau ketahuan bersikap seperti anak kecil nyasar.

Dengan perasaan ragu, aku beranjak ke luas masjid. Di luar juga cahaya lampu tiang tidak terang seperti sebelumnya, membuat suasana di sekitar pesantren seperti temaram. Kepalaku celingukan untuk melihat siapa saja yang berada di luar. Aku berlari cepat ke setiap bangunan untuk melongok sekilas ke dalamnya. Hatiku serasa mencelos saat menyadari sepertinya aku benar-benar sendirian. Kemana perginya semua orang? Apa semua sedang tidur lagi? Kayaknya nggak mungkin deh kalo semua tidur lagi menjelang shubuh seperti ini.

Aku duduk di atas sebuah undakan rendah dari semen sembari menumpu kepala di lutut. Kepala yang terasa pening berputar tidak bisa kuajak berpikir. Karena merasa ketakutanku makin menjadi, akhirnya aku mencoba berteriak memanggil siapapun. Tapi… tapi… kok, kenapa suaraku seolah tersangkut di kerongkongan?

Napasku serasa makin memburu dan aku bisa merasakan mataku panas dan basah. Yaa, Allah. Astagfirullah. Sebenarnya apa sih yang sedang kualami ini? Apa ini seperti ujian untuk membuatku semakin bertambah keimanan selama di pesantren ini atau gimana, sih? Pikiranku terus memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang malah makin membuat pening dan kalut.

Aku mengusap mata dengan punggung tangan agar bisa melihat sekeliling dengan jelas. Perasaan gelisahku makin menjadi saat aku menoleh ke arah masjid pesantren yang seharusnya berada di dekat tempatku duduk ini. Tapi yang kudapati adalah entah bagaimana masjid serta bangunan lain pesantren malah seolah berada di kejauhan. Detak jantungku makin menyentak rongga dada ketika kedua manik mataku melirik ke sekitar dengan was-was.

Lho? Di mana aku sebenarnya? Kuberanikan diri untuk menoleh perlahan hingga pandanganku mengitari tempatku duduk sekarang. Pepohonan tinggi dan berdaun lebat menaungi ruang di atas kepalaku. Aku sama sekali tidak bisa menerka atau mencoba membuat asumsi soal di mana sesungguhnya keberadaan saat ini. Desir panas dingin ganjil di sekujur pembuluh darah mengalir deras hingga membuat bulu kudukku meremang ketika tanganku meraba undakan yang kududuki.

‘Nisan! Aku menduduki batu nisan!’ teriak batinku. Seketika suasana di sekitarku seolah diterangi cahaya temaram entah dari mana hingga membuat bentuk makam dengan batu nisan tampak jelas. Rasa takut dibalut kalut membuat napasku jadi sesak. Gimana caranya aku ada di makam?! Di tengah-tengah makam pula. Tadi aku tidak merasa berjalan jauh dari lingkungan pesantren, apalagi ke arah makam yang berada di bagian paling belakang pesantren menuju jalan ke hutan.

Aku tidak suka berada di posisiku saat ini. Atmosfer ngeri, kalut serta diawasi oleh sesuatu yang tidak tampak di mata membuatku merasa terancam. Sampai kemudian, sayup-sayup kudengar suara dzikir dari kejauhan. Seketika aku seolah menemukan ‘senjata’ untuk melawan atmosfer negatif yang sedang menyelubungi. Hatiku menggerutu, kenapa tidak sedari tadi aku ingat untuk berdoa atau melafalkan Ayat Kursi?

Sesegera mungkin dalam hati aku mengulang bacaan Ayat Kursi, karena mulutku masih tidak kuasa bergerak untuk bicara. Suaraku saja masih serasa tertahan di kerongkongan. Beberapa detik kemudian, telingaku menangkap suara berat laki-laki yang kukenal sejak lama. Suara hangat yang sudah sekian lama tidak kudengar langsung kecuali lewat telepon yang sangat jarang. Suara yang membuat belenggu mencekam ini seolah terlepas.

‘Nindi. Aki nitip pesantren, ya.’

Kelopak mataku tersentak membuka lebar saat merasakan guncangan keras di tubuh. Kulihat wajah heran Ummi Rifah, Ustadzah Maesaroh dan Ustadzah Haifa di sampingku. Aku mengerjap mata beberapa kali dan kurasakan pipiku basah.

“Kamu nggak apa-apa? Kok tidurnya sambil ngigo kayak ketakutan?” tanya Ummi Rifah padaku dengan suara rendah hingga hanya didengar kami berempat.

Lihat selengkapnya