Cahaya matahari mulai bersinar lebih terang. Sekarang aku bisa melihat rupa pesantren setelah sekian lama tidak pernah kukunjungi lagi. Walaupun bangunan di sini masih berdiri tegak, tapi tampilannya tampak menua dan suram.
Cat di tembok serta kusen pintu dan jendela sudah hampir sepenuhnya pudar atau mengelupas. Pagar dan gerbang pesantren yang terbuat dari semacam batangan besi tempa juga kondisinya reyot. Bahkan pagar di dekat gedung administrasi ini ada beberapa bagian yang bengkok atau copot. Pelataran halaman pesantren yang berupa susunan balok semen juga terlihat bergelombang di beberapa tempat.
Pepohonan tinggi besar melingkari area pesantren. Aku tidak tahu jelas berapa luas keseluruhan tanah pesantren ini. Tapi kalau kuamati, sepertinya lumayan besar. Aku berniat akan menanyakan perihal ini juga kepada Ummi Rifah untuk kumasukkan ke dalam profil pesantren.
Kuhembuskan napas berat perlahan agar tidak menarik perhatian Ummi Rifah yang berjalan lamat-lamat disampingku. Sekarang tugasku sudah dimulai. Aku harus serinci mungkin mengetahui dan paham seluk beluk pesantren agar bisa membuat profil yang bagus di iklan media sosial.
“Duduk di sini dulu, yuk. Biar rileks dulu sambil ngabisin teh,” Ummi Rifah duduk di kursi kayu jati di teras gedung administrasi.
Aku ikut duduk dan menyesap teh. Rasa hangat nyaman menyebar ke seluruh tubuh, membuatku lumayan tersegarkan.
“Kira-kira enam tahun lalu, pesantren ini masih cukup ramai. Walaupun jumlah santri dan santriwati sudah jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya,” tutur Ummi Rifah. “Kalau dulu, banyak anak-anak masuk pesantren ini berdasarkan cerita dari mulut ke mulut. Ada juga yang berturut-turut dari anak tertua sampai anak paling kecil dari satu keluarga.”
“Tapi, semakin ke sini banyak pesantren lain juga dengan akses jalan lebih bagus. Mungkin fasilitas serta pengajar juga lebih memadai. Yah, namanya rejeki sudah Allah yang atur. Tinggal bagaimana kita menjemput rejeki tersebut,” lanjut Ummi Rifah sembari tersenyum menatapku.
Kuperhatikan raut wajah Ummi Rifah tampak menimbang sesuatu sebelum berkata-kata lagi.
“Tadinya sebelum Aki Warsana wafat, almarhum memang sudah ada niatan untuk memanggil kamu atau salah satu dari kedua kakakmu ke sini. Almarhum berpikir untuk meminta bantuan supaya kalian bisa bantu promosikan pesantren ini. Tapi ternyata, tiba-tiba saja almarhum berpulang tanpa ada gejala apa pun sebelumnya,” kenang Ummi Rifah dengan nada agak sendu.
Aku meneguk ludah. Mataku mulai agak buram karena genangan air yang muncul seketika. Jadi aku membuang pandangan ke arah Mang Said serta dua orang pria muda yang masing-masing membawa panci berukuran lumayan besar dari dapur ke gedung santri.
Genggaman lembut tangan Ummi Rifah di lenganku, membuatku mengembalikan tatapan kepada beliau. Kulihat senyum hangat Ummi Rifah seolah memintaku untuk tidak merasa muram.
“Setelah ini, kita ziarah ke makam Aki kamu. Sekalian juga mampir lihat kebun dan ternak pesantren,” ajak Ummi Rifah.
“Oh, ada kebun dan peternakan juga di sini, Ummi?” tanyaku antusias.
Kepala Ummi Rifah mengangguk semangat. “Hasil kebun dan ternak digunakan untuk makan di pesantren. Santri dan santriwati bergantian tugas piket juga di kebun dan kandang. Lumayan bisa banyak menghemat biaya. Aki kamu sengaja tanam pohon-pohon buah juga di sekitar pesantren. Jadi alhamdulillah kami semua bisa ngerasain hasil tanamnya,” terang Ummi Rifah. Suaranya terdengar ceria.