Pesantren Warisan

Rexa Strudel
Chapter #7

7

Akhirnya aku menghabiskan sisa hari ini di kamar saja. Sholat pun sendiri, tidak ikut berjamaah ke masjid. Untung saja Ummi Rifah berinisiatif agar seseorang menemaniku malam ini di kamar agar ada yang bisa membantuku jika butuh sesuatu. Jadi Ustadzah Maesaroh yang menawarkan diri untuk menemani tidur berdua di kamarku.

Aku juga tidak ikut makan bersama. Menurut Ummi Rifah, agar aku bisa istirahat dengan baik dan maksimal. Jadi aku tidak bertambah capek dengan harus mondar-mandir ke bawah atau ke gedung santriwati. Kupikir berbaring saja di kasur juga pasti rasanya bosan. Jadi aku mengambil laptop di ruang administrasi bawah untuk melanjutkan membuat materi profil pesantren.

Keesokan hari setelah merasa penat dan buntu untuk membuat profil pesantren yang cukup menarik, aku jadi kepikiran untuk meminta bantuan salah satu sepupuku yang mahir soal fotografi dan pembuatan video. Sepertinya aku bakal butuh foto atau video pendek berisi informasi serta kegiatan pesantren sehari-hari. Aku ungkapkan ideku soal foto dan video pendek pesantren kepada Ummi Rifah yang langsung menyambut dengan antusias.

“Boleh juga ide kamu. Nanti Ummi diskusikan dengan Ustadz Syarif dan para pengajar agar mereka juga bisa menyiapkan materi kegiatan untuk foto dan video,” terang Ummi Rifah.

Sore harinya, Ummi Rifah dan Ustadzah Maesaroh menyampaikan soal hasil diskusi mereka ke kamarku. Semua pengurus pesantren setuju untuk pengambilan foto pesantren serta beberapa kegiatan rutin harian di sini. Jadilah aku menelepon sepupuku, Wildan, untuk datang ke pesantren.

“Wildan itu yang mana ya, Nin? Pernah ke sini atau belum, ya?” tanya Ummi Rifah dengan kening berkerut menatapku.

“Wildan belum pernah ke sini sebelumnya, Ummi. Orangtua Wildan itu adik sepupu Ibu dan dulu waktu ngelahirin Wildan, masih tinggal di luar negeri sampai dia umur sepuluh tahun,” jelasku.

Ummi Rifah manggut-manggut sambil menggumamkan kata ‘oh’ pelan.

“Ehm, tapi nanti Wildan nggak apa-apa kalo sering ke ruang administrasi untuk ngerjain profil pesantren bareng Nindi?” tanyaku. Karena gedung administrasi jaraknya dekat dengan gedung santriwati.

Ummi Rifah mengulum senyum. “Nggak apa, kok. Kan santriwati juga hampir jarang keluar gedung jauh-jauh. Lagipula dia kan lagi bantuin kamu nanti,” jawab beliau.

“Iya, Ummi. Tadi juga Ayah telepon. InsyaAllah minggu depan pas tanggalan merah bareng akhir pekan, Ayah dan Ibu mau ke sini nengokin pesantren sama semua orang,” ujarku.

“Alhamdulillah. Mudah2an terlaksana insyaAllah,” sambut Ummi Rifah dan Ustadzah Maesaroh dengan suara riang.

Ketika lusa Wildan sampai di pesantren, aku sudah merasa lebih baik. Selama dua malam ditemani oleh Ustadzah Maesaroh, aku tidak bermimpi aneh. Mudah-mudahan seterusnya aku tidak mimpi seram lagi seperti kemarin.

Wildan tiba pukul satu siang. Aku menunjuk mobilku di halaman depan masjid agar ia bisa memarkir mobilnya di tempat yang sama. Kali ini Ustadz Syarif, Ummi Rifah, Ustadzah Haifa serta Mang Said yang ikut menyambut Wildan dengan bersemangat.

Kuamati sosok tinggi tegap Wildan. Wajah persegi berkulit cerah Wildan mirip ayahnya yang berasal dari negara asing. Rambut hitam Wildan yang sedikit bergelombang dan gondrong sebatas leher, kali ini ia kuncir rapi. Ia mengenakan kaus abu-abu yang dibalut dengan kemeja kotak-kotak hitam dan celana warna hijau tua berbahan kanvas. Sepatu keds hitam melengkapi penampilan kasualnya.

“Pesantrennya luas juga ya, Ustadz,” komentar Wildan sembari mengedarkan pandangan ke sekitar dengan tatapan antusias.

“Alhamdulillah. Almarhum Aki Warsana dan ayahnya sejak dulu sudah bercita-cita agar pesantren ini semakin berkembang dan maju. InsyaAllah,” tutur Ustadz Syarif.

Lihat selengkapnya