Pesantren Warisan

Rexa Strudel
Chapter #8

8

Setelah sholat Isya berjamaah dan makan malam, Wildan dan aku minta izin kepada Ustadz Syarif untuk kembali diskusi soal pembuatan materi iklan pesantren di ruang duduk gedung administrasi. Ustadz Syarif mengizinkan dengan catatan supaya tidak berisik dan jangan lewat dari pukul sepuluh malam supaya kami tetap bisa ikut sholat tahajud berjamaah seperti biasa.

“Dan, kalo misalkan gue tanya ke bokap soal rumah peninggalan almarhum gimana menurut lo?” tanyaku pada Wildan yang sedang menekuri tulisan di layar laptop.

Wildan menoleh dan mengkerutkan wajah menatapku. “Nanya soal rumah gimana maksud lo?”

Aku menggigiti bibir berusaha mencari kata yang tepat untuk mengungkapkan isi pikiranku. “Hmm, gue sih sebenernya ada ide gitu buat dapet uang banyak. Tapi takut bokap gue ngamok,” terangku dengan nada pesimis.

“Gimana mau ngamok, tau idenya apa juga belom,” ledek Wildan sembari mencebik kepadaku.

Aku meringis hambar kepada Wildan. “Gini. Maksud gue, kalo lahan pesantren kan nggak boleh dijual. Nah, kalo rumah almarhum kakek aja yang dijual gimana menurut lo? Tanah di rumah almarhum, kan, lumayan luas juga. Posisinya bagus gitu agak ke atas bukit. Pasti harga juga lumayan, lah,” aku memberi jeda agar Wildan bisa mencerna baik-baik kalimatku.

“Nah, biar uangnya gak langsung habis buat perbaikan pesantren aja, gw mau bikin sebagian uang penjualan rumah almarhum itu jadi pendapatan pasif gitu. Jadi nanti pesantren tetep ada uang cadangan dari pendapatan pasif itu,” lanjutku.

“Pendapatan pasifnya yang kayak gimana dulu?” tanya Wildan. Ada ketertarikan dalam suaranya.

“Gabung ke waralaba minimarket gitu. Gue lihat di daerah deket perempatan yang mau masuk ke arah desa ini tuh belum ada minimarket. Padahal daerah situ rumahnya lumayan padet dan termasuk rumah menengah ke atas. Udah gitu di perempatan kan jalur kendaraan dari dan keluar kota. Gue cukup optimis kalo usaha waralaba minimarket bagus buat pendapatan pasif jangka panjang. Udah gitu, kita bisa belanja juga beberapa keperluan pesantren di minimarket tadi. Jadi secara nggak langsung kita ikut ngelarisin penjualan minimarket sendiri,” tuturku panjang lebar.

Wildan manggut-manggut sembari menatapku dengan pandangan berbinar. “Eh, tapi. Kalo misalkan keluarga lo mau dateng ke sini, nginepnya di mana?” tanyanya dengan ragu.

Aku berpikir sejenak sembari menatap langit-langit. “Yaa, kan masih ada lebihan tanah di sepanjang belakang gedung ini atau gedung santriwati. Bisa aja kalau bikin rumah kecil dengan dua atau tiga kamar. Kan palingan buat tidur aja,” jawabku.

“Bagus juga sih kedengerannya. Coba nanti gue bantuin ngomong juga ke bokap lo biar beliau bisa ada sudut pandang beda dan pertimbangin usul lo secara matang,” ujar Wildan membuatku merasa lega sekaligus terdukung.

“Mudah-mudahan bokap bisa ngerti dan berpikiran terbuka soal ide gue. Semoga Allah mudahkan dan lancarkan jalan rejekinya pesantren ini,” ucapku yang langsung diaminkan Wildan dengan semangat.

“Bentar lagi jam malem, nih,” ujar Wildan sembari melirik jam dinding. “Berarti gue nanti tidurnya di gedung santri yang di sana?” tanyanya dengan telunjuk menuding ke arah gedung santri di luar.

“Iya. Nanti palingan Ustadz Syarif jemput lo dulu ke sini. Biar lo nggak nyasar,” ujarku.

“Yaelah. Dari sini ke sana aja masih keliatan mata. Kali dah bisa nyasar,” balas Wildan.

“Eh, gue bilangin sama lo. Malem-malem jangan keluyuran keluar. Nanti takut dicontoh sama para santri. Takut lo gak tau jalan pulang juga kalo keluar area pesantren, soalnya lo kan baru sampe di sini,” tuturku mengingatkan Wildan. “Udah gitu, jangan buka jendela malem-malem,” sambungku mengingat kejadian saat malam pertama di sini seraya bergidik samar.

“Emang kenapa nggak boleh buka jendela?” tanya Wildan penasaran. Tapi dari suara dan sorot matanya, sepertinya ia malah merasa tertantang untuk membuka jendela.

Aku mendengus keras-keras. “Di sini kan banyak pohon, kebon gitu. Takutnya ada uler atau binatang apa gitu masuk ke kamar lo. Terus anginnya juga dingin. Kalo lo masuk angin atau malah sakit, gimana coba,” jawabku berusaha terdengar logis.

“Oh, seperti itu. Siap, Bu Bos!” tukasnya seraya kembali berlagak memberi hormat padaku.

Lihat selengkapnya