Kulihat raut tegang Ustadz Syarif, Ummi Rifah, Ustadzah Maesaroh dan Ustadzah Haifa berubah mengendur. Bahkan mereka menghela napas lega.
“Maaf, ya, Nin. Ternyata Ummi belum cerita banyak soal seluruh hal di pesantren ini,” sesal Ummi Rifah.
Aku yang masih bingung, hanya bisa termangu dengan tatapan penuh tanda tanya kepada Ummi Rifah dan yang lain. Wildan juga ikut bingung menatap keempat pengurus pesantren di hadapan kami.
“Ehm, jadi gini, Nindi, Wildan,” Ustadz Syarif duduk di bangku yang ada di dekat pintu kamarku. “Nenek itu sebenarnya warga desa ini. Sudah nggak punya keluarga lagi. Sepertinya juga ada masalah kejiwaan. Nah, kami warga desa sepakat untuk, yaah, saling ngurus si nenek aja bergantian. Kasih makan dan minum gitu. Ada juga yang suka kasih pakaian,” terang beliau sambil bergantian menatap aku dan Wildan.
“Seringnya si nenek kalau malam ke pesantren ini. Jadi setiap malam kami siapkan makanan untuk si nenek di luar gedung. Untuk tidur, untung si nenek masih ingat rumahnya. Jadi setelah keluyuran ke sini, pasti si nenek pulang untuk tidur,” lanjut Ustadz Syarif.
“Jadi… jadi si nenek tadi bukan… setan?” tanyaku ragu.
Keempat pengurus pesantren ini tertawa singkat.
“Bukan. Si nenek asli manusia,” jawab Ummi Rifah.
“Emang kalo ada orang baru dateng di sini, terus liat si nenek malem-malem, tampilannya begitu pula. Pasti bakal lari terbirit-birit,” terang Ustadzah Maesaroh sembari cekikikan tertahan.
Aku menghela napas lega. Ada rasa malu dalam hati. Tapi kemudian pikiranku membela diri, siapa juga yang nggak lari liat nenek tadi kayak gitu, kan.
“Hhh. Syukur deh. Jadi jelas semua sekarang. Pokoknya kalo tiba-tiba liat si nenek pas malem, nggak usah lari pontang-panting, ya,” ujar Wildan.
Ustadz Syarif menggangguk untuk mengiyakan perkataan Wildan.
“Ya, udah. Sekarang ayo tidur. Nanti malah ngantuk, nggak bisa sholat tahajud,” kata Ummi Rifah.
“Eh, maap, Ummi. Kalo Nindi minta tidur ditemenin lagi malam ini aja, bisa nggak, ya?” tanyaku malu-malu.
Ummi Rifah malah terkekeh geli. “Siapa nih, yang mau nemenin Nindi? Mae atau Haifa?” tanya beliau kepada Ustadzah Maesaroh dan Ustadzah Haifa.
Kedua Ustadzah saling melirik sebelum menjawab berbarengan. “Kami berdua, Ummi.”
“Hmm, ya udah. Asal jangan sampe begadang ngobrol, ya. Awas kalo nanti dibanguninnya susah,” ujar Ummi Rifah berlagak melotot kepada kami bertiga.
“Iya, Ummi. Nggak ngobrol, kok,” janji Ustadzah Haifa dengan senyum lebar.