Pesantren Warisan

Rexa Strudel
Chapter #10

10

Begitu sampai di tempat Wildan, spontan aku langsung terduduk. Aku menyoroti tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki untuk memastikan ia benar-benar Wildan. Kucoba untuk menepuk bahunya. Tapi ia masih tidak bergerak. Telapak tanganku yang gemetar meraba wajah, kening dan leher Wildan. Rasanya dingin. Aku menaruh telunjuk di depan lubang hidung sepupuku ini dan menghela lega ketika merasakan hembusan napasnya.

Akhirnya aku mengguncang keras bahu Wildan sambil memanggil namanya. Ia mengerang singkat membuatku makin merasa lega karena setidaknya ia masih bisa sadarkan diri.

“Apa sih, lo? Bentar lagi. Gue masih ngantuk,” gerutu Wildan saat aku menepuk pipinya dengan tidak sabar.

“Ih, bangun, Wildan! Gila lo tidur di sini masa pules banget!” bentakku yang makin ketakutan ketika mendengar suara seperti napas tersengal di dekat tempat kami ini.

“Iya, iya. Gue bangun nih,” ujar Wildan sembari duduk tegak. “Lho, kok gelap? Ini di mana, Nin?” tanyanya panik ketika membuka mata.

“Nah, lo gimana, sih? Keluyuran kemana? Masa bisa sampe tidur di sini? Kita semua lagi nyariin lo, tau!” semburku.

Wildan mengucek mata dan masih tampak bingung. “Hah? Kenapa nyariin gue? Gue dari tadi di kamar,” terangnya.

Aku menyorotkan cahaya senter ke sekitar kami. “Ini kamar lo?!” tanyaku kesal.

“Lah? Kok? Ini… ini kuburan. Kenapa kita ada di kuburan?” Wildan mulai panik.

“Udah, udah. Nanti aja ceritanya. Kita balik dulu ke pesantren,” usulku hampir mau menangis lagi karena kali ini aku mendengar jelas suara tawa terkekeh di atas kepala. Aku bahkan tidak mau menerka atau membayangkan siapa yang tertawa macam itu pada saat gelap di makam seperti ini.

Wildan mengambil senter di tanganku, lalu menggandengku untuk berdiri. Tapi rasa sakit di kakiku makin tak tertahan. Aku jatuh terduduk kembali sambil terisak.

“Lo kenapa?’ tanya Wildan cemas. Ia berjongkok di depanku.

“Tadi gue kesandung,” jawabku singkat.

Wildan mengarahkan cahaya senter ke kedua kakiku. Ia mengumpat pelan ketika melihat luka serta memar parah di kaki kananku. “Sini gue gemblok,” ujarnya seraya berbalik agar aku bisa naik ke punggungnya.

Selama beberapa saat, Wildan menggendongku di punggung sambil berjalan cepat tapi tetap waspada dengan langkahnya agar ia tidak tersandung. Kurasa ia cukup cekatan dan penuh perhitungan untuk melewati permukaan jalan tanah yang tidak rata ini.

“Kok kita belum sampe-sampe ke pesantren, sih?” tanya Wildan sembari terengah. Ia berhenti melangkah tapi tidak berniat menurunkan aku dari punggungnya.

“Gue juga nggak ngerti,” jawabku lesu. Aku sudah tidak ada energi lagi untuk berpikir mencari jawaban atas kejadian aneh dan menyeramkan ini. Ngilu dan perih makin terasa menyengat di kakiku. Tapi aku tidak mau membuat Wildan semakin panik dan prioritasnya menjadi teralihkan kepadaku dari pada mencari jalan ke pesantren.

Aku memejamkan mata dan menyandarkan kepala di bahu Wildan. Dalam hati, aku mulai mengingat untuk membaca surat-surat pendek Al Quran serta berdzikir. Kurasakan Wildan kembali melangkah dan mendengar suaranya melantunkan Ayat Kursi.

“Huah! Nenek itu!”

Kepalaku langsung terangkat dan mengarah ke sorot cahaya senter ketika mendengar pekikan Wildan. Kudapati sosok nenek yang kulihat sebelumnya di jendela ruang kerja. Ia berpostur mungil dan bungkuk. Rambut putihnya tetap terlihat acak-acakan. Pakaiannya tampak tidak sesuai antara atasan dan bawahan yang ia kenakan.

Nenek itu menghampiri kami. Ia menarik satu tangan Wildan seolah menuntunnya untuk berjalan. Sementara satu tangan Wildan yang lain mengarahkan cahaya senter ke jalanan di depan si nenek. Tidak lama kemudian, kami hampir sampai di belakang masjid. Lantunan ayat Al Quran dari pengeras suara masjid membuat atmosfer ngeri mencekam yang aku dan Wildan rasakan seketika sirna.

Lihat selengkapnya