"Dasar cewek aneh!" Seorang awak kabin senior di ujung ruangan memelototi Andin yang baru saja masuk ke crew room.
"Serem banget sih harus terbang sama Mbak Andin." Seorang pramugara junior bernama Rendi menundukkan kepalanya. Dan cepat-cepat mengosongkan pikirannya. Takut pikirannya terbaca oleh seniornya itu.
"Alah paling juga peramal palsu. Sok-sokan bisa liat setan." Kopilot muda yang Andin tahu adalah seorang homoseksual yang berlindung di balik sikap kasarnya terhadap semua awak kabin yang terbang dengannya, menatapnya dengan sinis.
"Musyrik percaya sama ramalan kaya gitu. Emangnya dia Nabi." FOO yang sedang mem-briefing PIC Andin tentang weather dan rute penerbangan menoleh sebentar ketika melihat Andin sedang melihat ke arahnya.
Andin kini mematung, mendengar semua suara-suara dalam kepalanya. Ya dia bisa mendengar semua pikiran orang-orang yang berada dalam satu ruangan dengannya.
Sejak keluar dari rumah sakit, kemampuannya semakin bertambah.
ia tidak lagi cuma bisa melihat mereka yang tidak kasat mata. Tapi ia juga bisa mendengar pikiran-pikiran orang.
Andin kini juga bisa menerawang nasib seseorang. Meski hasil penerawangannya adalah sesuatu yang acak. Bukan sesuatu yang ingin ia tahu dari orang itu lalu muncul begitu saja. Terkadang apa yang ia ingin lihat di orang itu tidak begitu saja muncul berurutan dalam waktu.
Semua bisa terjadi cepat atau bisa juga terjadi pada esok hari, dua hari atau satu minggu kemudian. Andin belum bisa mengontrol kemampuannya ini.
Sama seperti ia belum bisa mengontrol apa yang harus ia katakan atau apa yang harus ia sembunyikan dari orang yang bertanya padanya.
Sehingga orang-orang yang terbang bersama Andin merasa tidak nyaman berada di dekatnya.
Andin juga tahu, tidak jarang juga yang melaporkannya pada Chief kabin. Mereka yang merasa terganggu dengan kemampuan barunya ini. Namun Andin tahu atas dasar Profesionalisme dan rasa iba, Chief kabinnya hanya menanggapi laporan itu sebagai berita burung.
Wanita cantik berusia empat puluhan itu selalu menepis laporan tentang kemampuan supranatural Andin dengan ringan. "Yah selama itu tidak menganggu operasional di pesawat, Saya tidak bisa memberi sanksi sama Andin. Coba abaikan saja, selama itu tidak menganggu keselamatan di pesawat atau mendapat komplain dari penumpang."
Begitu Chief Kabin Andin selalu beralasan kepada semua pelapor.
Sebenarnya Andin tidak lagi peduli pada pikiran-pikiran orang lain yang mencacinya. Selama itu tidak dikatakan di depannya. Ia akan menganggap itu semua hanya ketakutan mereka pada sesuatu yang di luar nalar.
Ia sudah begitu bingung dengan "mereka yang tidak terlihat" yang kerap mendatanginya, menganggunya dan mengajaknya berkomunikasi.
Walau sebagian besar biasanya selalu ia acuhkan. Ia sudah banyak belajar untuk tidak menanggapi mereka.
Karena ia tahu orang akan menganggapnya gila, aneh dan berbahaya jika ia terus menanggapi makhluk yang tidak bisa dilihat orang lain.
"Saya harap di penerbangan ini nggak ada yang ngaku-ngaku sebagai peramal Millenial ya. Mari kita kerjakan semua sebagai seorang yang profesional dan normal."
Andin tahu kata-kata bernada sinis dari Pursernya itu ditujukan padanya. Ia membaca itu di kepala Mbak Diah, yang menjabat juga sebagai salah satu asisten Chief di maskapainya.
Tatapan Mbak Diah yang kurang suka padanya, membuat Andin merasa menjadi seorang pendosa. Sama juga dengan rekan-rekannya yang sedang menatapnya seperti orang yang disisihkan.
Andin hanya mengangguk samar. Berusaha mengacuhkan pikiran-pikiran picik yang sedang menghujamnya dengan berbagai tatapan.
"Okey setelah berdoa. Segera kita ke pesawat." kata-kata Asisten Chief itu menutup pre-flight briefing mereka malam itu.
***
Brak...
Andin sedang melakukan one minute silent review, ketika secara aneh kunci sebuah drawer terbuka dan membuat sekaleng minuman soda jatuh di bawah kakinya.