Hari ini merupakan hari pertama masuk sekolah ditahun ajaran baru. Seperti biasa ditahun ajaran baru akan ada murid baru. Sudah menjadi tradisi bagi setiap sekolah-sekolah mengadakan Masa Orientasi Siswa (MOS) dalam rangka menyambut kedatangan siswa baru di sekolah mereka. Dengan segala bentuk cara dan kegiatan yang dipersiapkan pihak sekolah yang bekerja sama dengan pengurus OSIS untuk menyambut siswa baru sekaligus memperkenalkan lingkungan sekolah. Dalam tradisi ini biasanya para pengurus OSIS meminta siswa baru untuk membawa atribut-atribut unik yang membuat penampilan mereka terlihat ‘aneh’.
Pagi ini cuaca cukup cerah. Mentari bersinar terang. Pemandangan unik terlihat di SMP Tunas Bangsa. Sekolah menengah pertama yang terletak di tepi jalan kota itu mulai ramai. Siswa-siswi berseragam putih biru lengkap dengan atributnya satu persatu memasuki gerbang sekolah. Tak sedikit dari mereka memakai seragam sekolah dasar khas dari sekolah asal masing-masing, lengkap dengan atribut unik yang membuat penampilan mereka terlihat sedikit ‘aneh’. Tampak beberapa siswi yang tidak berjilbab, rambutnya dikuncir tiga dengan pita warna-warni lengkap dengan topi kerucut beragam warna. Kartu identitas, beberapa bungkus nescafe dan bumbu dapur menggantung dileher siswa-siswi tersebut dengan seutas pita warna-warni. Yang membuat penampilan mereka makin aneh adalah tas kresek merah besar yang dilengkapi tali rafia supaya bisa menggantung dipundak mereka serta kaos kaki berwarna hitam di sebelah kiri dan berwarna putih di sebelah kanan. Siapapun akan tertawa geli melihat penampilan unik siswa-siswi baru pagi itu.
Dari seberang jalan segerombolan siswa sedang menunggu satpam sekolah memberikan aba-aba untuk menyebrang. Beberapa dari mereka ada yang menaiki sepeda, ada pula yang berjalan kaki. Dalam gerombolan siswa itu, nampak seorang siswi baru berseragam merah putih. Ia menuntun sepedanya yang berwarna hijau tua. Di keranjang sepedanya tampak penuh atribut yang akan ia gunakan pagi ini. Meskipun agak memalukan dan membuat penampilannya seperti orang tidak waras tapi ia berusaha untuk terlihat percaya diri. Senyumnya sumringah saat telah memasuki gerbang sekolah. Dengan bersemangat ia menggiring sepedanya menuju ke parkiran.
Argani Saskia Utari, panggil saja ia Kia. Siapa yang akan menyangka, anak perempuan dari desa itu bisa masuk salah satu sekolah favorit di kotanya. Bahkan gurunya di sekolah dasar terlihat meremehkan saat ia mengutarakan keinginannya untuk bersekolah di SMP Tunas Bangsa. Bukan ia tak cukup pintar. Tapi persaingan untuk masuk di sekolah tersebut sangat ketat. Dan kebanyakan siswa-siswi yang masuk sekolah tersebut adalah siswa-siswi dari sekolah dasar negeri dan anak-anak orang kaya. Tapi anak perempuan itu mempunyai semangat yang luar biasa, ia mampu membuktikan kepada guru SDnya dan orangtuanya bahwa ia bisa masuk ke sekolah impiannya itu. Kia masuk urutan 30 besar dari 288 siswa yang diterima. Di hari pertamanya menjadi siswi SMP, Kia berjanji dalam hatinya akan bersaing untuk menjadi siswi berprestasi. Ia tidak hanya ingin menjadi kebanggaan orang tua tapi juga sekolahnya.
***
Tuk..tuk..tuk.. “Kiri Pak!” seorang anak laki-laki berseragam hijau putih mengetukkan tangannya ke langit-langit angkutan pedesaan yang sedang membawanya, ia mengisyaratkan sopir angkot untuk berhenti karena ia telah sampai di tempat tujuannya yaitu SMP Tunas Bangsa. Sambil menggendong tas hitam besar ia turun dari angkutan pedesaan berwarna hijau tua itu, seorang anak laki-laki berseragam sama mengekorinya. Ia kemudian menyerahkan empat lembar uang seribuan kepada sopir angkot tersebut.. “Berdua ya, Pak. Makasih” Sopir angkot itu mengangguk. Dan berlalu pergi.
Erlangga Pradipta Bumantara, panggil saja ia Buma. Buma mempunyai paras yang cukup tampan, berkulit putih, rambutnya hitam sedikit bergelombang, tubuhnya ideal dan tidak terlalu tinggi. Sedangkan teman yang mengekorinya adalah Cahyono Gian Prawira. Panggil saja ia Wira. Anak laki-laki bertubuh ideal dan lebih tinggi dari Buma. Berkulit putih. Dan berwajah tampan. Lebih tampan dari Buma. Buma dan Wira bersahabat sejak mereka duduk dibangku taman kanak-kanak. Kemudian lanjut di sekolah dasar yang sama. Ternyata tuhan mentakdirkan mereka masuk di SMP yang sama. Buma dan Wira berjalan beriringan memasuki gerbang sekolah sambil cengengesan. Mereka berjalan menuju kelas sementara yang akan digunakan untuk MOS. Saat sampai di depan sebuah ruangan, merekapun berhenti. Buma melihat daftar nama siswa yang menempel di jendela ruangan itu. Jari telunjuknya bergerak menelusuri daftar nama siswa di ruangan tersebut. Kemudian penelusuran itu berhenti pada nama, Erlangga Pradipta Bumantara.
“Aku di kelas ini” Katanya kepada Wira sambil menunjuk ke daftar nama yang menempel di jendela kaca tersebut.
“Yaudah aku cari kelasku dulu, nanti ketemu pas istirahat” Setelah melakukan toss iapun berjalan memunggungi temannya itu.
Sejak berpisah dengan Wira beberapa menit yang lalu, Buma masih berdiri di depan ruangan. Matanya menjelajahi seluruh sudut sekolah, di lapangan basket nampak pengurus OSIS sibuk menyiapkan upacara penyambutan siswa baru SMP Tunas Bangsa. Siswa-siswi baru bersliweran mencari ruangan masing-masing. Dan para senior nampak tertawa cekikikan saat melihat juniornya memakai atribut ajaib pagi ini. Untuk apa mereka tertawa? Bukankah dulu mereka juga seperti ini? gumamnya dalam hati. Tiba-tiba pandangannya terpusat pada seorang anak perempuan yang sedang berjalan menuju ke arahnya. Penampilannya nampak lucu. Anak perempuan itu berhenti di depan Buma yang terkikik melihat penampilannya pagi ini.
“Apa?” tanyanya ketus saat melihat Buma terkikik melihatnya.