Pesona Ayah

Ana Yuliana
Chapter #1

Ayahku Banci

Krekkk. Suara deritan pintu itu. Jeritannya cukup memekakkan, termakan usia dan tentu karena minim perawatan. Dulu, ia pasti akan melonjak girang bila mendengarnya. Tamu berarti uang jajan lebih. Ayah tak akan segan membelikannya gulali atau balon warna-warni bila pelanggan datang silih berganti. Sampai saat itu, ia merasa bahwa dunia sungguh indah dan sangat mempesona, sama seperti namanya. Pesona.

“Mana laki-laki pemilik tempat ini?” Wanita paruh baya dengan penampilan kekinian itu berkata. Ia menurunkan kaca mata hitamnya, menatap sekeliling sambil sesekali mengibaskan tangannya memamerkan deretan gelang mengkilat yang memenuhi kedua pergelangan tangannya. Bila itu asli, pastilah harganya sama dengan sewa ruko ayahnya setahun. Rambutnya pirang dengan tatanan khas orang kaya dan make up minimalis yang sempurna. Orang yang beruntung.

“Ayah sedang keluar sebentar, ada yang bisa saya bantu, Bu?” Pesona berkata ragu. Apa ayah punya hutang pada wanita ini? Tak mungkin kan orang sekelas dia pelanggan ayah? Adakah yang lebih buruk akan menimpa hidupnya yang sudah sulit ini?

“Ohhh jangan panggil aku dengan sebutan Ibu, call me Tante May, EM-AU-EY, May,” ucap wanita itu menjelaskan dengan ejaan Bahasa Inggris yang cukup menggelitik.

I am waiping oke.” 

Waiping?” Sona mengernyitkan dahinya.

Waiping, menunggu tahu. Payah, anak jaman sekarang gak gaul!” Wanita paruh baya itu mengibaskan rambut pirangnya.

Sona menganggukkan kepalanya. Ah ternyata tak selamanya penampilan berbanding lurus dengan isi otak seseorang.

 “Apa kau putrinya?” Tante May membuka kacamata hitamnya, jari lentik berkutek merah mengkilat itu menunjuk Sona.

“Siapa?” Sona mengernyitkan keningnya lagi.

“Siapa lagi? Apa ada orang lain selain kita di ruangan ini? Helo… atau kau pikir aku sudah gila hingga berbicara dengan cicak yang merayap di langit-langit rumah ini?” Seru tante May dengan tangan yang bergerak-gerak secepat caranya berbicara.

Sesaat Sona terdiam. Kecepatan bicara Nyonya Kaya ini sungguh luar biasa, ia hampir kesulitan mencerna setiap kata yang ia ucapkan. Seandainya ia rentenir, habislah ayah yang harus menelan omelannya.

“Kenapa diam? Apa suaraku kurang jelas?”

“Ah iya, aku anaknya, namaku Pesona, Tante bisa memanggilku Sona,” jawab Sona sedikit gugup.

Good!Jadi sejak kapan ibumu minggat dan menelantarkan kalian?”

“Apa!” Sona berteriak. Hampir saja ia tersedak permen karet yang dikunyahnya. Sial! Bagaimana bisa wanita ini mengatakan hal yang tidak sopan pada pertemuan pertama mereka dengan wajah seolah tanpa dosa. Sungguh keterlaluan. Atau ayahnya lah yang terlalu mudah mengumbar aib keluarga.

Krekkk! Gesekan engsel berkarat. Tamu lagi.

“Ma, sampai kapan aku harus menunggu di dalam mobil, apa kau ingin membunuhku?” Seorang laki-laki muda sebaya Sona masuk.

Sona mengamati laki-laki muda itu. Ah, anaknya Tante May. Orang yang beruntung juga. Pastilah kecil dulu ia sering mengkonsumsi keju dan susu hingga tingginya begitu menjulang dan warna kulitnya begitu cerah.

“Aku memang akan membunuhmu, Rayhan. Sia-sia Mama keluar uang banyak untuk bayi tabung bila jadinya anak sepertimu. Tahu begini biar saja Mama tidak punya anak!” Tante May melengos menghindari tatapan Rayhan anaknya. Sungguh sebuah drama yang manis dari keluarga orang kaya.

“Hei, jangan seperti itu Ma, doa seorang ibu itu pasti dikabulkan, mama mau aku beneran mati?” Rayhan langsung duduk di sebelah mamanya dan menggelayut manja. Kedua lengannya erat memeluk wanita cantik itu.

“Mama akan kesepian hanya bertemankan papa yang sudah tua itu dan adikku yang menyebalkan. Mau?”

Tante May memajukan bibirnya. Melihat gelagatnya, pastilah ia tak bersungguh-sungguh marah pada putranya itu.

“Ayolah Mama, sayangku, cinta pertamaku, berikan ATM-ku. Plizzz!” Rayhan menatap penuh harap. Buaya.

Tante May menatap langit-langit ruko yang cat putihnya telah mulai memudar. Ia pasti mencoba menghindari tatapan bening pemuda itu, tapi Sona yakin sebentar lagi pertahanan Tante May pasti akan runtuh.

“Ma, aku sudah menemani mama seharian ini, dari belanja sampai arisan, ayolah, Ma, plizzz!” Tatapan itu semakin memelas. Lebih tepatnya dibuat sememelas mungkin. Sona tahu tehnik ini ketika ikut kelas drama di SMA-nya dulu.

Tante May menghela napas, menatap putranya dan menghela napas lagi. “Sudahlah! Aku memang tak berguna mendidik anak seperti mu?”

“No, Ma, you are the best!” Rayhan mencium pipi mamanya.

“Oke anak nakal, kali ini kau kuampuni, tapi bila lain kali kau buat onar lagi, akan kuadukan pada papamu. Biar jadi miskin kamu!”

Yesss! I love you, Mama.” Laki-laki muda itu bersorak girang.

“Ini, awas jangan pulang malam!” Wanita itu melempar sebuah kartu persegi berwarna gold.

Pesona menatap takjub, oh, begitu nasib terkadang begitu kejam mempermainkan manusia sepertinya. Seandainya ayahnya pun berlaku sama bila ia merajuk.

Thank you, Mama cantik!” Rayhan beranjak setelah menghujani mamanya dengan ciuman.

Dan, luluh lah hati wanita cantik itu. Drama selanjutnya adalah adegan manis antara Ibu dan putranya.

“Dan kamu?” Rayhan menunjuk Sona yang dari tadi memperhatikan adegan mesra ibu anak itu. “Jangan terpesona seperti itu menatapku tahu!”

“A-a-ku?” Sona bertanya ragu.

Rayhan berjalan ke arah Sona yang masih terpaku.

“Yup, siapa lagi manis?” Tanpa aba-aba Rayhan mencubit pipi Sona.

“Kamu!” Sona berteriak dengan mata melotot. Ia tak siap dengan gerakan tiba-tiba Rayhan, kini ia pun tak mampu menyembunyikan semburat merah di pipinya. Laki-laki ini!

 Plak! Sebuah tamparan sukses mendarat di pipi mulus Rayhan. Ia hanya terdiam menatap tak percaya. Perfect! Untuk pertama kali seseorang berani menampar pipinya.

+++

“Kamu tahu, Say, pipi anakku itu sampai merah, bukan karena sakit tapi pasti karena malu ha ha ha.” Tante May tertawa girang. Matanya berbinar seolah anak kecil mendapat mainan baru.

“Ih, kok Sona gitu sih, itu anak emang gak tau sopan santun, main tampar anak orang saja, sebel.”

“Ih, gak apa-apa lagi, Say, emang tu anak perlu dikasih pelajaran, emang dia kira semua cewek sama apa? Dasar anak manja. Sok ganteng, sok keren, padahal dia mah gak ada apa-apanya tanpa harta orang tuanya.” Tante May memonyongkan mulutnya.

“Tetep Cin, aku gak terima, itu anak main tampar anak orang aja, sebel, sebel pokoknya!”

Lihat selengkapnya