Ragu Sona melangkahkan kaki memasuki halaman rumah mewah yang didominasi warna putih dan kuning gading. Ini bukan minimalis modern namanya, tapi maximalis modern. Luar biasa, ruko ayahnya hanya seperlima bagian dari rumah ini. Memasuki halamannya saja Sona sudah berdecak kagum melihat tatanan taman yang berdamping serasi dengan kolam ikan mungil lengkap dengan air macurnya. Orang kaya selalu saja pandai membuang uang untuk hal-hal tak berguna dan sia-sia.
Sona pun baru menyadari ternyata setelah tujuh tahun kepergiannya dari Kota Muaradua ini, sudah banyak perubahan. Dahulu hanya ada beberapa saja rumah mewah di kota ini, sekarang rumah yang dahulu hanya bisa ia lihat di TV sudah berjejer di sepanjang jalan utama kota. Otonomi daerah ternyata berdampak juga pada kesejahteraan beberapa orang tentu saja itu tak berlaku untuk ayahnya.
“Tunggu sebentar di sini ya, saya panggil nyonya dulu,” ucap pelayan berseragam pink, warna yang paling Sona benci karena selalu mengingatkannya dengan kaos ketat milik ayahnya bertuliska kata ‘GIRL’ besar di bagian depan.
“Kamu jangan membantah ya, pokoknya harus les, mau jadi apa coba kalau sudah sebesar ini gak bisa baca!” Sebuah suara mengalihkan Sona yang tadinya fokus menjelajah tiap sudut rumah ini.
Mata Sona menyipit, menangkap samar-samar percakapan sengit yang sepertinya antara ibu dan anak itu.
“Coba jawab, mau jadi apa?”
“Ya mau kayak mama lah, menikah dengan orang kaya dan jadi kaya tanpa berusaha he he,” sebuah suara menyahut.
Sona menyunggingkan bibirnya, jawaban yang tepat, Sona pun ingin seperti cita-cita anak itu.
“Gak bakal ada orang kaya yang mau sama wanita yang gak bisa baca kayak kamu! Percuma mama bayi tabung mahal-mahal kalau jadinya anak kayak kamu!”
Deg! Jantung Sona berdetak lebih kencang. Kalimat itu, sepertinya pernah terdengar, dan bisa jadi ini sebuah firasat buruk.
“Tuh gurunya udah nunggu, salim sana!”
Sona menoleh perlahan, sejak beberapa menit terakhir berdoa bila prasangkanya hanyalah halusinasi. Tak mungkin kan kebetulan itu terjadi dua hari berturut-turut.
“Hey kamu Sona kan?” Suara Tante May bertanya girang.
Sona mengangguk bersamaan dengan tubuhnya yang mulai lemas. Sepertinya ia harus mengundurkan diri di hari pertama bekerja. Mungkin saja Airin sudah menemukan pekerjaan alternatif untuknya.
“Bening, ayo, duduk sini, ini anaknya temen mama, guru les kamu.”
Seorang anak wanita dengan malas menghampiri. Wajahnya ditekuk dengan tatapan sinis mengunci Sona. Ah, awal yang sangat baik untuk menjadi seorang guru les. Sepertinya keputusan untuk berhenti adalah hal yang harus segera dilakukan secepat mungkin.
“Oke, kita jodoh ya, kamu anak temen Tante dan sekarang jadi guru les Bening, cucok!” Tante May berceloteh sambil sesekali mengibaskan rambut ikalnya, kali ini warnanya tidak pirang lagi tapi hitam kemerahan. Orang kaya, lagi, selalu saja punya banyak cara untuk menghamburkan uang.
Ada senyum tipis terukir di bibir Sona. Keputusan sudah bulat, tapi entah harus darimana ia memulai kalimat pengunduran diri ini.
“Nama anak ini, Bening, dia kelas tiga SD, aslinya sih kelas lima, maklumlah dua tahun gak naik kelas.” Suara centil Tante May memulai cerita.
“Gak sekalian aja apa mama ceritain ke guru les baru ini kalau aku masuk SD nya umur tujuh tahun jadi seharusnya aku ini udah kelas enam! Biar ketauan begonya aku!” Bening memonyongkan mulutnya.
“Ah itu juga baru saja mau mama ceritain tapi udah keduluan kamu he he.”
“Udahlah Ma, aku gak mau les, aku malas. Paling juga kayak guru sebelumnya, mereka menyerah.” Bening menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Mereka bukan menyerah, tapi kamu yang gak tahu diri,” gerutu Tante May.
“Itu sama saja Ma. Udahlah, aku gak mau les baca lagi. Aku maunya les make up, titik!”
“Anak ini ya, walau mau les apa juga kalau gak bisa baca ya percuma, pokoknya les baca dulu!”
“Nggak mau! Titik!” Bening membantah.
“Harus mau!”
“Nggak!” Bening bersikeras. Kali ini ia berkacak pinggang.
“Ah maaf.” Agak ragu Sona bersuara. Sepertinya ini harus diakhiri dan ia juga sudah memutuskan tak akan cocok mengajar les anak di hadapannya ini.