Pesugihan sate Gagak Mang Yopi

Shinbul
Chapter #3

Ki Wijar Paruk

Sosok Ki Wijar Paruk sangat disegani oleh warga Desa Balesari, di Lereng Gunung Kawi. Seperti tampak pada pagi hari ini, walau mentari belum siap menampakkan senyumannya yang menawan, Ki Wijar Paruk sudah mulai mengayuh pedal sepedanya menuju perkebunan kopi miliknya yang luas itu. Biasanya kalau dia sudah pagi pagi sekali keluar dari rumah mewahnya, pasti dikarenakan dia sedang berantem besar dengan istri ketiganya yang merupakan kembang desa dari desa sebelah.

Ki Wijar Paruk memang terkenal, karena merupakan orang terkaya di Desa Balesari. Siapa yang tidak mengenal sosok Ki Wijar Paruk. Semua fasilitas fasilitas di Desa Balesari semua difasilitasi olehnya. Mau itu fasilitas air bersih, fasilitas listrik ke rumah rumah penduduk, fasilitas perkebunan kopi miliknya. Semua penduduk boleh mengajukan diri untuk bekerja di perkebunan kopinya, tanpa terkecuali.

Walau hidup bergelimang harta, Ki Wijar Paruk tampak kurang bahagia, apalagi sejak kematian anak semata wayangnya Tuan muda Atmaja Wicaksono yang tanpa sebab. Jiwa dan raga Ki Wijar Paruk cukup terpukul sejak kejadian itu. Berhari hari dia menyepi seorang diri di rumah perkebunannya, tanpa makan dan minum, membatin ada apa gerangan yang terjadi dengan anaknya Atmaja Wicaksono. Semua pengawal dan pesuruh dia kumpulkan jadi satu, dia mulai menginterogasi mereka satu per satu.

Walau kenyataannya tak membuahkan hasil yang berarti. Ki Wijar Paruk semakin tertekan dalam keterpurukannya, alhasil semua pekerjaan di perkebunannya dia telantarkan. Hampir sekitar enam bulan berlalu, hari demi hari waktu berjalan semakin pekat, Ki Wijar Paruk tak kuasa bertahan dalam kesedihannya. Jatuh sakitlah dia selama sebulan purnama ke depan. Jiwanya semakin redup oleh kesedihan mendalam, raganya pun mengikuti layaknya mayat hidup, matanya cekung menghitam, tubuhnya mengurus ceking tak bertenaga. Seakan akan yang tersisa hanyalah raganya saja, tapi hatinya sudah mati. Bahkan bau yang keluar dari tubuhnya bagaikan bau seonggok bangkai, sangat tidak sedap.

Ki Wijar Paruk menatap nanar ke arah makam anaknya, Atmaja Wicaksono. Dia mulai menangis tersedu sedu, teringat betapa telah dipersiapkannya angan angan untuk sang anak semata wayangnya untuk dapat menjadi penerusnya kelak. Dia teringat akan tatapan kosong terakhir sang anak yang telah terbujur kaku saat ditemukan oleh pengawalnya. Ki Wijar Paruk menangis sampai sisa tetes terakhir air matanya. Dan seketika itu dia mulai tertawa terkekeh kekeh sendiri, sambil memejamkan matanya. Dan sore pun semakin beranjak menjadi gugusan malam kelabu tanpa bintang mulai menyelubungi Ki Wijar Paruk.

Entah putaran angin dari mana arah datangnya, tiba tiba menghantam dada Ki Wijar Paruk, tergulinglah dia ke samping meja di depannya. Dengan bersusah payah dia mencoba bangkit dari hantaman angin tersebut. Sambil bergumam tak menentu dia mencoba berdiri dengan kedua kakinya. Dia mulai berteriak siapakah gerangan yang ada disana, tunjukkan dirimu. Aku, Ki Wijar Paruk menantangmu!

Lihat selengkapnya