Tepat setahun yang lalu, kami masih tinggal disuatu rumah yang cukup untuk kami semua bahkan masih ada ruang jika saja aku mempunyai 2 atau 3 adik lagi. Saat itu rumah kami berada di sebuah daerah di pinggiran selatan kota, butuh sekitar 1 jam waktu perjalanan jika di tempuh dari pusat kota. Sebuah daerah yang terkenal dengan momen besar yang selalu rutin terjadi di setiap tahunnya. Sebenarnya lebih tepat disebut bencana, bencana banjir besar tahunan.
“Ketinggian sungai besar di dekat rumah sudah mulai melebihi batas wajar” ayah memberikan info seiring dengan kepulangannya ke rumah dari tempat kerja.
Hal itu menjadi tanda bahwa kita sudah harus bersiap untuk mengamankan barang berharga dan bersiap berpindah sementara ke tempat pengungsian. Ibu masih sibuk dengan Ian, di tahun itu Ian masih belum bisa lepas dalam meminum asi, sehingga dia mesti selalu menempel dengan ibu. Ardi sedang tidak ada di rumah, entah kemana. Dia sering kali menghilang dan tidak di rumah. Aku sudah mengakhiri tahun terakhirku di sekolah dasar, dan ini sedang masa liburan.
Hujan tak berhenti sepanjang malam, genangan air sudah se mata kaki dan sudah masuk ke dalam rumah. Tingginya memang masih jauh dengan garis lembab di tembok bekas banjir terdahulu. Garis yang letaknya lebih tinggi dari tubuhku yang berarti jika banjir setinggi itu lagi maka aku dipastikan akan tenggelam. Kami sudah bersiap berpindah ke tempat pengungsian yang tak terlalu jauh dari rumah, kalau sudah masuk musim banjir seperti ini, Jembatan di atas sungai beralih fungsi menjadi tempat pengungsian, di situ di bangun tenda-tenda dan banyak yang tinggal sementara di sana seperti kami.
“ Kamu dari mana saja?” ayah membentak Ardi yang baru saja pulang.
“Aku dari rumah teman yah” Ardi tak banyak menjawab dan lantas langsung pergi ke kamarnya untuk berkemas.
“Kamu ini sekarang sudah di atur ya, situasi seperti ini malah sering menghilang” ayah keliatannya sangat marah, namun Ardi berusaha tidak merespon ayah berlebih.
“Sudahlah, jangan jadi ribut dulu. Kodisi dijalan tadi bagaimana?” ibu menenangkan agar situasi tidak semakin memburuk.
“Banjirnya sudah semakin tinggi bu, di jalan juga gelap” jawab Ardi
“Aku bakal tenggelam atau tidak?” aku penasaran seperti apa banjir yang akan terjadi tahun ini.
“Setinggi kamu akan mudah untuk seketika hilang di bawa arus air” seperti biasa Ardi menggodaku.
“Tenang saja. Biasanya juga kita kan naik perahu”
Setiap musim hujan seperti ini datang, ayah selalu saja menggerutu. Selalu marah-marah karena banjir yang selalu datang. Ayah selalu berkeinginan untuk pindah rumah ke tempat yang lebih nyaman, tanpa banjir. Ibu juga sepakat dengan ayah, apalagi pertimbangan ibu lebih karena kesehatan yang jadi sering menurun terutama pada Ian yang sering sakit-sakitan. Tapi bagiku, situasi ini sungguh menyenangkan. Setiap hari aku bisa bermain air, aku bisa menaiki perahu ketika harus melewati area banjir. Di tempat pengungsian juga aku bisa bertemu dengan teman-teman dan bermain bebas di sana. Kami sekeluarga juga jadi sering bersama.
“Kita tak mungkin ke tempat pengungsian sekarang. Terlalu gelap” ibu keliatannya khawatir.
“Iyah. Kita tunggu di sini dulu saja sampai besok pagi. Sekarang kita semua pergi ke loteng saja ya. Tidur di sana. Khawatir banjir semakin tinggi saat tidur nanti” Ayah menggiring kita semua menuju loteng. Hampir setiap rumah di lingkungan tempat tinggalku mempunyai loteng yang sudah direnovasi sehingga bisa ditinggali sewaktu-waktu jika banjir seperti ini datang. Loteng kami dilapisi lagi dengan kayu agar lebih kuat untuk dipijak, dibangun cukup luas agar bisa dipakai tidur oleh kami berlima. Disetiap sisinya dibatasi tambang agar kita tidak terguling jatuh. Untuk menuju ke sana kita menggunakan sebuah tangga bambu. Dan ada jalan keluar juga ke atas atap jika saja banjirnya semakin tinggi lagi.
Listrik rumah di matikan. Hanya ada lampu senter yang di gantung diatap untuk menerangi malam. Ayah duduk dipaling ujung dan siap berjaga semalaman. Aku terbaring ditengah, Ibu dan Ian dibagian terdalam dan Ardi ada di sebelahku. Mataku sudah sangat mengantuk, sarung yang menyelimuti badan tidak terlalu tebal untuk melindungi dari dinginnya malam. Walaupun udaranya menusuk kulit, tapi suasananya begitu hangat. Kami semua berkumpul di tempat yang sama.
…
Mataku terbuka lagi ketika badanku sudah berada dalam gendongan Ayah. Ada bau lumpur dan suara air yang begitu dekat ke telinga, seperti gelombang yang berbenturan dengan dinding kokoh serta ada decitan karet ban basah. Aku sudah berada di perahu karet pagi itu.
“Banjir yang sekarang makin parah ya pa?” suara ayah yang mengobrol dengan seorang bapak paruh baya yang mendayung perahu sambil menggunakan rompi pelampung.
“Betul pa. hujannya betul-betul tidak berhenti. Beberapa daerah yang biasanya hanya banjir dangkal sekarang jadi ikutan cukup dalam juga”
“Tempat pengungsian juga di pindah ya?”
“Iyah. Dijembatan tetap dipakai. Tapi karena pengungsinya lebih banyak, jadi menggunakan tempat lain juga. Area sekolah yang sekarang dipakai untuk mengungsi”
Aku menguping pembicaraan mereka sambil memainkan air diluar perahu. Warna airnya begitu coklat dengan pemandangan rumah-rumah berjajar dengan atapnya saja yang terlihat. Ardi melamun dipojok perahu, ian masih tertidur dipangkuan ibu. Aku begitu semangat jika banjir datang. Sayang sekali kita tidak menuju tempat pengungsian yang biasanya, padahal aku selalu senang ketika bermain disana.
Banjir ini memerlukan waktu surut kurang lebih sekitar satu minggu, itupun tergantung dengan seberapa sering hujan yang turun. Aku akan libur sekolah dan bermain terus sepanjang hari, ya walaupun aku sebenarnya sudah merasakan tidak sekolah beberapa minggu yang lalu. Aku baru saja lulus sekolah dasar, dan kata ayah masuk SMP nya nanti dulu saja. Aku akan punya hari libur yang sangat-sangat panjang.