Malam itu aku duduk dipojokan rumah sambil memandang sekeliling. Ada Ian yang sedang bermain dengan mobil-mobilan plastik miliknya, yang dulu milikku. Ada baju-baju di jemuran yang menggantung diruang tengah. Ada ibu yang sedang rebahan meluruskan punggungnya, dan ada seorang makhluk hidup baru di rumah yang tertidur pulas dikasur tipis tepat di sebelah kakiku. Dia dinamai Inu, bayi laki-laki yang kini menjadi adikku lagi.
Inu lahir melalui operasi Caesar, ini hari keduanya berada di rumah setelah sebelumnya harus menginap 3 hari di rumah sakit bersama ibu. Ku pikir badannya begitu besar, dari paha hingga telapak kakiku saja masih lebih kecil dari pada tubuhnya. Kepalanya pelontos dengan pipi yang gembil, kulitnya masih terlihat merah serta mata bening yang begitu besar. Nafasnya ketika tidur terasa begitu tenang hingga seisi rumah terkesan tidak mau gaduh takut membangunkan lelapnya itu.
Ian mengoceh dengan pelan, “Kakak Ian, Kakak Ian, bukan dede lagi”
Dia mengatakan kalau dirinya sekarang harus di panggil dengan panggilan kakak Ian, bukan lagi dede. Dia merasa bangga karna sekarang ada sosok yang lebih kecil dan lebih muda darinya. Obrolannya dengan ibu selama masa mengandung Inu, membuat Ian begitu yakin bahwa menjadi seorang kakak akan begitu menyenangkan, sama sepertiku dulu waktu Ian akan lahir. Walaupun sekarang nyatanya semakin lama semakin tidak semenyenangkan yang dibayangkan.
“Bu,, ayah mana?” bocah tiga tahun itu menanyakan keberadaan ayah.
“Lagi kerja de” Ibu menjawabnya sambil tetap terbaring memegangi perutnya yang masih sakit.
“Kakak bu, bukan dede” Ian mengoreksi ibu yang masih memanggilnya dengan dede.
“Oh iyah, kakak Ian ya” ibu tersenyum merespon perkataan Ian.
Aku juga penasaran tentang keberadaan Ayah, semenjak Ibu pulang dari rumah sakit, Ayah belum benar-benar pulang ke rumah. Dia hanya muncul sebentar dan kemudian menghilang lagi. Sudah 2 hari ini tidak tidur di rumah, mungkin saja ayah yang mengalah untuk tidak tidur di rumah agar tidak ada salah satu dari kami yang harus tidur diluar karena keberadaan inu. Sekarang saja walaupun aku sudah sangat mengantuk tapi aku belum bisa tidur dengan nyaman. Alas tidur sudah habis digunakan untuk Inu agar terasa lebih empuk untuk bayi yang baru lahir itu. Kalau kata Tommy, “Penjajahan akan dimulai lagi dan akan semakin parah”. Ku rasa perkataan itu mulai menjadi kenyataan.
“Assalamualikum” itu suara Ardi.
“Bu, beresin baju-baju ya. Kita pindah rumah malam ini” Ayah muncul dari belakang Ardi sambil membuka helm dikepalanya dan memberikan perintah pada ibu.
“Loh, pindah kemana yah?”
“Kita ke rumah Anna” Ayah menjawab dengan singkat sambil langsung berkemas.
“Barang-barang yang berat bisa dipindah besok saja, lemari, tv dan lain-lain biar besok pagi ayah angkut dibantu Ardi. Yang penting sekarang kita semua kosongkan dulu rumah ini” lanjut ayah.
Ibu yang tak banyak bertanya langsung bangun dari berbaringnya. Perlengkapan Inu didahulukan untuk di kemas. Ardi juga sudah langsung membantu bebenah mengikuti instruksi ayah. Semuanya bergerak serentak tanpa saling membahas apa yang sebenarnya sedang terjadi sehingga malam ini kita semua harus pindah rumah. Ian masih saja bermain dengan mobil-mobilannya, Aku dan Ian diminta mereka keluar ruangan dan menunggu tanpa diberikan penjelasan apapun.
“Kalau sudah, kita semua langsung ke rumah Anna ya, sisanya dilanjut besok pagi saja” Ayah memanggul 2 tas besar sambil berjalan dipaling depan menuju rumah bibi Anna.
Ibu mengikutinya dibelakang sambil menggendong Inu yang masih tertidur, jalannya masih begitu perlahan dengan tangan yang memegangi perut bagian bawahnya yang masih sakit. Aku berjalan sambil menggandeng Ian, Ardi berjalan dipaling belakang karna dia harus mengunci rumah dulu serta menjinjing tas besar yang berisi baju-baju yang lain.
Terakhir ku lihat jam menunjukan pukul 20.18, belum terlalu malam dan jalanpun masih ramai dengan orang-orang yang lalu lalang. Perjalanan kami menjadi perhatian banyak orang, beberapa kali juga ada tetangga yang bertanya hendak kemana kami pergi membawa banyak barang malam-malam begini. Ayah hanya menjawab seperlunya sambil tersenyum kesetiap orang yang bertanya.
Kita sampai di rumah bibi Anna, disana tampak tidak banyak orang. Setiap keluarga sepertinya sudah berada di ruangannya masing-masing. Ayah terus saja berjalan secara pasti, dilewatinya ruang kamar paman acep, paman abdul, dilanjutkan dengan menaiki tangga menuju lantai atas dan masuk ke ruangan yang masih kosong di lantai atas itu. Baru kali ini aku masuk ke lantai 2 walaupun sudah sangat sering ke rumah bibi Anna, yang aku tau tentang lantai 2 ini hanyalah kalau tempat ini adalah tempat tinggalnya Mia, itu saja. Kami hanya mengikuti ayah dan langsung menaruh semua barang bawaan kami ke ruangan itu.
“Kita akan tinggal disini, ruangan ini masih cukup untuk kita semua tinggal” ayah menyimpan semua barang dan langsung terduduk dilantai sambil bersandar pada dinding.
Ibu juga langsung meminta ardi untuk membantunya meletakan alas tidur dan bantal di lantai serta kemudian kembali menidurkan Inu di sana. Sebuah ruangan persegi yang cukup berdebu dengan sebuah jendela kayu tanpa kaca yang pada malam itu sedang tertutup.
“Bagaimana keluarga yang lain?” ibu memulai pembicaraan.
“Sudahlah, lagi pula memang kosong juga kan. Yang penting kita ada tempat tinggal. Aku masih bagian dari keluarga besar ini” ayah menjawab dengan tegas.
Kedatangan kami ke rumah ini bukan tidak disadari sama sekali. Suara langkah kaki, suara barang-barang bawaan hingga suara Ian yang gaduh membuat seisi rumah tau kalau kami semua datang.
Kali ini terdengar suara langkah kaki yang berat menginjak tangga dan mulai mendekat ke atas. Sosoknya sudah langsung memenuhi seluruh pintu ruangan. Tubuh tinggi besar dengan kulit yang cukup gelap, matanya melotot seperti marah, rambut putihnya tidak tersisir rapih. Dia adalah ayahnya Mia, Paman Asrul. Kakak pertama dari ayah.
“Ada apa ini? Kenapa kamu seenaknya main pindah-pindah saja?” Paman Asrul bertanya dengan nada yang begitu tinggi. Aku rasa semua mendengarnya dan merasakan dadanya terhentak kaget.
“Tempat ini memang tidak ada yang pakai kan?” ayah menjawab dengan tenang.
“Tapi kamu tidak berhak menggunakannya.”
“Dulu juga aku tinggal disini kan? Kenapa sekarang tidak boleh?”
“Kamu benar-benar tidak sopan. Seenaknya saja”