I. Matahari Terakhir
12 Juli 2009
Matahari sore jatuh perlahan di langit Kampung Lingga.
Cahayanya lembut, jingga, menelusup lewat celah pepohonan dan menyelimuti lapangan kecil di tengah permukiman—tempat yang dulu terasa terlalu luas untuk ukuran kaki anak-anak.
Rumput liar tumbuh semaunya. Tiang gawang dari bambu bekas, miring ke kanan, dibiarkan begitu saja. Tapi tak ada yang peduli.
Di sekeliling, ada kebon, semak tinggi, dan rumah pohon reyot. Bahkan solokan kecil dan ban bekas pun masuk arena. Buat mereka, ini stadion terbaik di dunia.
Rey—12 tahun, kapten tidak resmi segala permainan sore—menggiring bola sambil tertawa.
"Ayo rebut ini kalau bisa!"
Dua bocah mengejar dari belakang. Arga, usia sembilan, selalu sok cool tapi sering gagal. Dika, wibu sejak TK, percaya dia reinkarnasi tokoh anime.
Mereka terus berlari. Napas ngos-ngosan. Tapi tak ada yang mau berhenti. Di bawah langit yang makin merah, semuanya terasa abadi. Walau diam-diam, waktu sudah menunggu di tikungan.
"GOLLL!!"
Dika teriak duluan, yakin banget meski bolanya nyangkut di kaki Rey.
"Itu gak masuk, bego!" protes Arga.
"Raja iblis kegelapan tidak pernah meleset!" ucap Dika sambil selebrasi ala villain.
Rey cuma nyengir, nada suaranya males-malesan.
"Ye. Gue yang ngegolin. Kalian yang heboh. Sujud sini sama suhu."
Di sisi lapangan, empat anak cewek duduk di tikar plastik hijau kusam. Naya dan Sisi lagi main masak-masakan. Wajan mainan penyok, isinya campuran daun, pasir, dan imajinasi tanpa batas.
Naya mengaduk masakannya sambil menirukan gaya chef dari acara TV.
"Satu sendok pasir, dua helai daun. Ini gulai monster."
Sisi datang sambil bawa daun dan bunga kecil, lalu masukin ke wajan dengan semangat.
"Tambahin cabe-cabean. Biar pedes... kayak Kak Alin kalau lagi ngambek diem-diem."
Sisi ketawa sendiri, ngakaknya lepas. Kayak nemu meme absurd.
Naya melirik Sisi, senyum jahil dikit muncul di ujung bibirnya. Matanya ngelirik ke arah tikar sebelah.
"Kak Alin, kata Sisi kamu cabe-cabean, tuh."
Alin ngelirik dari tikar sebelah. Senyumnya ramah, santai.
"Kalau aku cabe, kalian bawangnya, ya."
Sisi langsung antusias, matanya berbinar seolah dapat ide baru.
"Aku bawang merah! Naya bawang putih! Kak Alin jadi ibu tiri! Ayo main itu sekarang!"
Naya masih fokus ngaduk-aduk wajan, matanya nyari bahan terakhir dengan ekspresi serius ala chef profesional.
"Tapi masakan chef Naya belum jadi... sebentar lagi nih."
Saat Naya dan Sisi sibuk dengan masakan khayalannya, suara sorakan dari lapangan semakin liar.
DUG.
Tiba-tiba bola mental, nyasar ke tikar.
Wajan terlempar. Gulai monster tumpah ke tanah.
Naya teriak kesal, "ARGAAA!!"
Arga nahan ketawa, pura-pura polos. "Angin yang salah! Bukan aku!"
Naya berdiri, ngibasin pasir dari rok dan kakinya.
"Bisa gak sih jangan nyusahin?! Gulaiku tinggal dikasih topping doang padahal!"
Arga ngangkat bola dengan satu tangan, nyengir.
"Salah sendiri masak di lapangan!"
Sisi masih ketawa. Malah makin keras sampai batuk dikit.
"Gulai terbang! Gulai terbang! Hihihi."
Rey datang pelan, bola di tangan, ekspresinya tenang kayak wasit sepak bola yang udah pensiun.
"Pertandingan ditunda karena tragedi gulai. Bola menyatakan dirinya tidak bersalah."
Tawa pecah. Suasana cair lagi. Sore di Kampung Lingga selalu begini: kacau, tapi hangat.
***
Sedikit jauh dari keributan, Alin dan Ria duduk bersila. Jemari mereka telaten memilah manik-manik dari kotak kecil. Warna-warni kecil yang bikin sore itu keliatan lebih pelan.