II. Ungu – Celah dalam Permainan
Waktu menunjukkan pukul 17:20. Langit masih terang, tapi warna jingga keemasan mulai surut, digantikan semburat biru lembut yang merambat dari arah timur. Di barat, rona oranye memudar pelan di balik awan tipis. Tapi sesuatu terasa janggal.
Angin mulai dingin, menyelusup tajam ke kulit. Gelang manik di pergelangan tangan Dika terasa sedikit lebih berat dari biasanya. Nyala ungu tipis berdenyut pelan, tapi dia nggak nyadar. Di sekitarnya, angin sempat berhenti, seperti waktu menahan napas.
“Sepuluh! Siap atau tidak! Raja kegelapan akan beraksi!”
“Baiklah... Mungkin aku ke kanan dulu.”
Dika nyebrang lapangan, masuk ke bagian yang mulai rimbun di pinggir hutan kecil—tempat rumput meninggi, pohon-pohon makin rapat, dan suara bocah lain mulai jauh.
Angin menyentuh kulitnya. Terlalu dingin, sampai bulu kuduknya berdiri.
“Duh, kayaknya mau hujan deh... HELLO—?”
Ada bayangan di balik pohon. Dika melihatnya. Dia nyengir, santai.
“Oke, aku lihat satu orang di situ. Hong, Naya! Hii-hi-hi-hiiii~”
(Masih cosplay ketawa ala hantu kunti, sama persis kayak yang dia lakuin sebelumnya)
Bayangan itu... diem. Nggak gerak sedikit pun. Dika ngelirik sebentar, keningnya berkerut.
“Naya? Halah... jangan ngumpet di...”—
Langkahnya melambat. Dia maju. Tapi pas dia sampai di balik pohon itu...Kosong. Nggak ada siapa-siapa.
Dika mendadak kaku. Napasnya berat. Merinding. Angin kayak berhenti sebentar.
Dia mundur. Lari.
“BANG REY...! ARGA! ALIN!”
“SEMUANYA...! KALIAN DIMANA...!”
Dia lari ke sisi timur lapangan. Tapi nggak ada suara balasan. Dia nengok ke belakang. Kosong. Lapangan yang tadi penuh suara sekarang sepi total.
Langkahnya melambat.
Langit mulai redup. Bukan malam, tapi warnanya berubah cepat. Awan-awan di atasnya berputar pelan.
Daun-daun beterbangan, kayak ada angin... tapi arah terbangnya aneh. Nggak kayak angin sore biasa.
“SEMUANYA! AKU NYERAH!!”
Yang jawab cuma desir angin. Dan gema suaranya sendiri, pelan, jauh...
“...rah...rah...rah...”
Dika berhenti. Matanya berkaca-kaca. “Apa mereka pulang duluan… ninggalin gue sendirian?”
Bisikannya lepas di udara.
“Ini... nggak lucu.”
***
Di utara, Naya lihat siluet kecil jalan ke arah semak-semak.
“Sisi! Jangan ngumpet jauh-jauh!”
Dia ikut jalan cepat, lalu mulai lari kecil.
Sisi masih kelihatan. Jalan lurus, nggak noleh, nggak melambat. Naya mulai panik.
“Sisi!”
Begitu Sisi belok ke balik pohon—hilang.
Naya berhenti. Telinganya berdenging.
Lalu. Suara langkah. Di belakangnya.
"Hong, Naya. Kamu yang pertama ketemu. Sekarang kamu jaga, ya."
Dia refleks noleh. "Dika?"
"IH, BIKIN KAGET AJA AH!" Naya tarik napas. Pegangin dadanya.
Tapi Dika cuma diam. Senyumnya masih sama. Terlalu lebar. Terlalu tenang. Kayak lukisan yang senyum, tapi matanya kosong.
Naya mulai ngerasa nggak nyaman. Bulu kuduknya berdiri. Tangannya dingin.
"Dik... nggak lucu ah. Jangan gitu," bisiknya pelan, hampir kayak ngerayu diri sendiri buat tetap tenang.
Dika miringin kepala—perlahan, nyaris pelan banget—kayak lehernya nggak ada tulang. Ada bunyi kecil. Krak.
Naya mundur. Detak jantungnya makin cepat.
Satu detik... dua detik...Dika nggak gerak. Tapi senyumnya makin lebar. Matanya... ngikutin Naya, tapi kepalanya diam.
Naya lari. Sekencang mungkin. Napasnya nggak stabil. Dan satu hal yang dia tahu: Itu bukan Dika.
***
Sebelah selatan, Bang Rey duduk di bawah pohon pinggir lapangan. Mainin rumput. Nunggu waktu lewat.