Petak Umpet Terakhir

Raquela Valevine
Chapter #3

III. Biru - Luka yang Tak Bernama



III. Biru – Luka yang Tak Bernama


"Kalau semua teman berubah, masihkah kau percaya dirimu sendiri?"


Langit makin gelap cepat. Cahaya oranye tinggal sisa tipis di barat.

Lampu-lampu rumah warga mulai nyala satu-satu. Beberapa bohlam 10 watt yang nempel di batang pohon atau tiang pendek di pinggir lapangan ikut nyala, ngasih cahaya remang di tengah arena main.

Tapi di sisi kebon, bayangan mulai panjang dan suara jangkrik makin jelas.


Naya berdiri di bawah pohon, manyun.

"Kenapa aku yang jaga sih…"


Dika nyengir.

"Soalnya kamu yang pertama ketemu, Nay~ Ayo, temuin raja kegelapan kalau bisa!"


Arga ikut nyengir.

"Gue pastiin lu bakal jaga terus, wlee!"


Naya ngedumel.

"AWAS AJA LU!!"


Naya ngejar Arga, tapi Arga udah lari duluan.


Gelang biru di tangannya—berdenyut. Samar. Tak ada yang sadar. Udara makin berat. Tapi permainan tetap lanjut.



---


Naya mulai menghitung.

"Satu... dua... tiga..."


Semua tersebar. Permainan berlanjut.



---


Arga ngumpet di balik pohon, nyaris tertawa sendiri—sampai suara aneh terdengar dari arah semak-semak kanan.


“Ah, paling kucing,” pikirnya.


Tapi langkahnya tak lagi ringan.



---


Sementara itu, Alin dan Ria sembunyi berdua. Sunyi.


"Alin... aku denger suara," kata Ria pelan.

"Apa?"

"Katanya... kamu bukan Alin yang asli."


Alin mematung.

"Siapa yang bilang?"

"Gak tahu. Tapi suaranya... dari dalem kepala."


Ria mulai memegang kepalanya, gemetar.

Alin panik.

"Ria! Hei, kamu kenapa!?"



---


Di tempat lain, Bang Rey merebahkan diri di rumah pohon.

Pandangannya menembus langit yang mulai menggelap.


Spiral aneh itu—pusaran samar di antara awan—pelan-pelan bergerak.

Sesekali, dia menyipitkan mata. Nggak yakin, tapi nggak bisa berhenti lihat.


Langit... kayak melambat.


Lalu—melintas cepat—seekor rusa putih.


Dia langsung duduk. Matanya membelalak.

"…Apa tadi?"


Langit bersih.

Rusa itu hilang.

Tapi rasa anehnya... tinggal.


Seolah dia pernah lihat. Tapi di mana?


Langit nggak berubah.

Tapi dadanya mulai sesak.



---


Sisi menyendiri di balik tenda kecil—sisa acara kampung tahun lalu, yang sekarang tinggal rangka seadanya dengan kain terpal usang.


Di dalamnya, remang.


Sebuah lentera tua—bohlam 5 watt dalam tabung kaca—menggantung rendah dari seutas tali, nyala kekuningan bergetar pelan. Cahayanya nggak terang, tapi cukup buat nunjukin wajah Sisi... dan Batu-chan di pangkuannya.


Dia masih bicara dengan Batu-chan.


"Kalau hujan turun pun, kita berdua tetap aman, ya," bisiknya lembut.


Di pojok tikar bolong, dia nemu paku tua—karatan, tapi masih cukup tajam.


Dengan pelan, dia mulai menggores batu itu, ingin bikin wajah.


Tapi baru satu goresan—


Cling!


Paku karatnya mental. Terpental ke bawah tumpukan tikar dan dedaunan di pojok tenda.


Sisi ngedumel pelan.

"Ih... kemana sih pakunya..."


Dia merangkak, nyari di sela-sela daun dan debu.


Tapi bukannya nemu paku... tangannya justru nyentuh sesuatu yang dingin dan bulat.


Dia tarik pelan-pelan.

"Loh... gelang siapa ini?"


Gelang kuning terang. Polos. Tapi... hangat.


Sisi miringin kepala. Senyumnya melebar.

"Wah… lucu juga. Warnanya kayak bebek kecil."


Tanpa mikir panjang, dia langsung selipkan ke tangan kirinya—tepat di sebelah gelang pink.


Dan saat keduanya nempel...


Blink.


Gelang pink dan kuning—bersinar bersamaan.

Getaran halus menjalar di kulit.


Hangat. Aneh. Tapi... nggak menakutkan.


Angin kecil menyelinap masuk dari celah terpal. Rambut Sisi ikut tergerak pelan.


Dia bengong, ngeliatin dua gelang di tangannya yang terus berpendar halus.



---


Dika ngumpet di belakang gudang. Jongkok.


Tapi tiba-tiba berdiri.

"Yang tadi itu... gue kok ngerasa kayak sendirian ya... Itu nakutin banget. Apa gue cuma halu?"


Dia garuk kepala.

"Ah iya, efek kebanyakan nonton anime kali."



---


Waktu jalan.

Lima menit. Sepuluh.


Langkah Naya makin cepat.

Aneh.

Semua tempat persembunyian... gampang banget ditemuin.



---


Pertama, dia liat bayangan dari balik semak.

"Bang Rey, hong!"


Bang Rey keluar.

Pelan. Jalannya lurus, datar.

Matanya kosong.


Dia gak ngomong apa-apa.

Cuma lewat di depan Naya, lalu belok ke arah pohon jaga.



---


"Arga! Keluar!"


Arga muncul.

Jalan aja.

Tanpa ekspresi. Tanpa suara.


Padahal harusnya dia protes atau kabur dikit.


Naya celingak-celinguk.

"…pada kenapa sih?" gumamnya.


Tapi dia lari ke pohon. Tangan ditepuk kuat.

"APEL!"



---


Masih ada tiga.

Alin, Ria, dan Dika si raja kegelapan.

Belum muncul.


Naya mulai jalan lagi.

Ke barat.


Ada suara ranting patah. Dia nengok.


Keluar dua sosok.


Alin dan Ria.


Naya (matanya berbinar): "Hong! Haha, ketangkep juga kalian!"


Dia senyum.


Tapi dua-duanya juga… diem.

Langkah pelan. Jalan lurus.

Tatapan kosong.


Ria bahkan ngelewatin Naya tanpa noleh.

Alin juga gak bilang apa-apa.


Naya : "Eh... kalian kenapa sih?"


Lihat selengkapnya