Melvin, Denzel 1870.
“Kau tahu betul, kalau aku memerintahkanmu menikahinya agar dia bisa menjadi korban persembahan di keluarga kita, bukan?”
Pria berambut putih itu sungguh terlihat berwibawa. Garis mukanya keras, dan sorot matanya terkesan sangat dingin. Usianya sudah menginjak 75 tahun, namun tulang di tubuhnya masih menyangga diri dengan sangat gagah. Ia terduduk di kursi kebesarannya, menunjukkan eksistensinya bahwa ia adalah seorang penguasa utama.
“Ya – aku ingat Ayah.”
Di depan pria tua itu duduk, ada pria lain yang usianya setengah lebih muda darinya. Lelaki itu sedang berdiri tertunduk lemah seperti orang yang kalah. Ia sama sekali tak terlihat memiliki keberanian untuk memandang balik sosok yang dipanggilnya ayah.
‘BRAKK’ - “Lalu kenapa kau melindunginya!!!” suara gebrakan meja dan bentakan pria tua itu menambah ketegangan di antara mereka. Ia bangkit berdiri di baliknya dengan tatapan penuh amarah.
“Ma – maafkan aku, Ayah. Aku – aku ....”
“Mencintainya?!” pria tua itu langsung menyela.
Sang putra memilih diam. Sulit baginya mengakui perasaan.
“SANCHO?! JAWAB AKU!” bentak pria tua itu lagi.
Sancho memberanikan diri mengangkat wajahnya. “Iya ayah. Aku mencintai Molek.”
Mata pria itu menyipit. “Apa kau bilang?” ujarnya merasa tak habis pikir. Lalu terbahak-bahak ia sambil menjatuhkan tubuhnya kembali ke atas kursi. Tawanya mengisi setiap sudut ruang, membangkitkan getaran ketakutan di hati yang mendengar, bahwa itu adalah tawa sebuah ancaman. Sedetik kemudian ia kembali berubah bengis, “DASAR ANAK BODOH!!!”
“Maafkan aku Ayah, tetapi aku tidak bisa menahan perasaanku pada Molek. Aku sudah mencoba menepisnya, tapi aku tidak mampu.” Ia yang dipanggil Sancho tidak dapat lagi menahan diri. Lelaki itu sadar, sudah percuma jika berusaha bersembunyi.
“Perasaan kau bilang?! Jika keluarga kita mengutamakan perasaan maka sudah sejak dulu kejayaan ini tidak akan pernah ada!”
Mulut Sancho terkunci rapat-rapat, ia tak mampu membalikkan kata-kata ayahnya. Tak ada yang bisa ditepis, nyatanya kekuasaan keluarganya berdiri memang tanpa memikirkan perasaan siapa pun. Menindas mereka yang lemah, menawarkan fatamorgana yang indah, bersekutu pada roh nenek moyang yang sama berambisinya, menjadi sebuah tradisi turun temurun di dalam keluarganya agar takhta mereka tidak punah. Dalam hati kini Sancho cuma bisa berharap, istri yang dicintai tidak akan terluka karena rahasia perasaannya telah terbongkar.
“Kita tidak bisa lagi menahan wanita itu, Grazian sudah sangat menginginkannya!”
“Tidak, Ayah! Aku tidak akan membiarkan jiwanya menjadi budak di sana!”
“Apa katamu?! Jadi sekarang kau sudah berani menentangku?!”
“Aku tidak bermaksud menentangmu Ayah. Beri aku waktu mencari penggantinya, asal jangan Molek!”
“Grazian menginginkan Molek!”
“Tidak Ayah!”