Gadis itu berusaha mencuri-curi lirikan. Strateginya adalah memandang lagi ke sekeliling lalu melintas sejenak ke arah laki-laki itu.
“Apa aku salah menilai? Kenapa wajahnya terlihat sedih? Dia tidak cocok menjadi penculik. Apa mungkin dia pencopet yang miskin dan kelaparan? Ah ya! Mungkin dia ingin mengincar tasku. – Tapi ... itu hanya akan membuang energinya saja karena di dompetku hanya tinggal uang receh. Andai dia tahu kalau tujuanku bertemu Zoe untuk pinjam uang. – Bagaimana ini, tidak ada yang bisa aku berikan? – Tapi ... gaya berpakaiannya kenapa resmi sekali?! Itu tidak menandakan kalau dia butuh makan, bahkan dia bisa memberi makan. Tidak mungkin-tidak mungkin! Kalau dia pencopet, setelan jas itu juga akan menyulitkannya untuk lari. Lagi pula copet mana yang berpakaian necis begitu!”
Berbagai prasangka masih merundung Soa, dan tentu saja semua gagasannya mustahil di terima logika. Tiba-tiba suara notifikasi komentar di media sosial menghentikan Soa dari dugaan-dugaan anehnya. Gadis itu memilih menjauh, mencari tempat duduk yang ia pikir tak bisa ditangkap mata si orang asing. Lantas, menikmati balasan komentar dari teman-temannya.
“Kudaku langsung sakit saat kuajak untuk menjemputmu.” Max menjadi yang pertama berkomentar. Membuat Soa jadi tertawa terbahak-bahak. Teman-teman Soa yang lain turut menyusul satu persatu berkomentar.
Hanna : “Tunggulah di sana, pangeran kodok akan datang untukmu. Hahaha.”
Dori : “Hei Soa. Ini sudah zaman mobil mewah, kenapa kau masih mengharapkan kuda?”
Max : “Mau semodern apa pun dunia ini, Soa akan selalu hidup di masa lalu.”
Soa tak tahan lagi untuk tidak membalas. “Apa sih kalian, aku hanya sedang berkhayal sambil menunggu Zoe.”
Hanna kembali menimpali, “Lihatlah! Ternyata Zoe pangerannya.”
Dori : “Zoe? Hahaha. Kupikir Shane.”
Soa terbelalak, buru-buru ia balas lagi komentar Dori. “Jangan kau sebut nama itu. Aku tidak ingin dia muncul tiba-tiba.”
Max memberi pesan gambar tertawa.
Hanna : “Hahaha sekarang ia pasti sedang ketakutan.”
Dori : “Ups! Aku kelepasan. Hahaha ... ”
Tiba-tiba balasan dari seseorang yang tak diharapkan muncul. “Di mana aku harus menjemputmu?” Itu komentar dari Shane, lelaki yang pernah mengejar cinta Soa mati-matian bahkan rela mempermalukan dirinya sendiri. Soa bergidik geli, ia yakin sahabat-sahabatnya merasakan hal yang sama. Saling berbalas komentar pun mendadak lenyap.
Soa keluar dari media sosialnya. Memasukkan telepon genggam ke dalam tas dan tak berselera lagi menulis apa pun di sana. Lalu disaat ia menengok ke sisi kirinya ...
“Kau?!” gadis itu langsung terperanjat. Pria berpakaian serba hitam itu ternyata sudah duduk di sampingnya.
“Kau?! – Kau bilang kau?!” lelaki itu justru membalas tak kalah tercengang.
Keelokan wajah laki-laki itu semakin jelas Soa lihat. Kulitnya putih namun agak pucat. Matanya jernih biru bagai langit tak berawan. Tulang rahangnya tegas dan hidungnya tinggi membentuk sempurna. Batin Soa lagi-lagi berujar, “apa dia ingin melakukan pendekatan kepadaku?” lalu berpaling muka sambil tersenyum sembunyi-sembunyi. “Hem, ampuh juga krim wajah pemberian Dori.”