Kepakkan sayapnya begitu indah, gagah melebihi kupu-kupu di atas mawar merah. Gaun putihnya yang memesona, dilengkapi oleh rambut panjangnya yang terurai berombak. Elok kerlingan matanya bagai memandang senja dari bibir pantai, senyumannya seolah menjadi hujan di sore hari. Ia memancarkan sinar, sinar yang lembut dan menenangkan.
Di atas permukaan air ia terduduk seorang diri. memandangi bukit dengan pepohonan hijau di sekitar danau yang ia datangi. Ia memang senang menyendiri, baginya kesunyian melahirkan ilham. Menikmati suara alam dari ibu bumi adalah kebahagiaan buatnya, itu adalah saat di mana ia dapat memeluk waktu sejenak untuk tidak mendengarkan keluh kesah manusia atas hidup yang mereka jalani.
“Kau tahu, sebentar lagi para malaikat akan berkumpul menghadap Yang Mulia,” ucapnya pada seekor burung cekakak biru yang bertengger di atas jemarinya. Burung itu tampak tenang mendengarkan, matanya menjurus pada sosok cantik di hadapannya. “Sepertinya akan ada misi besar yang akan diberikan. – aku masih ingat, seratus tahun yang lalu menurut perhitungan bumi para malaikat pernah dikumpulkan seperti ini oleh Yang Mulia. Aku rasa akan sama, ada satu malaikat terpilih yang akan di tugaskan menerima misi besar. Huh! Entah kenapa aku merasa ikut tegang menunggu hal itu. Menurutmu ... kalau memang dugaanku benar, siapa malaikat senior yang akan dipilih Yang Mulia?”
“Andel.” Suara dari langit tiba-tiba saja terdengar mengejutkan. Langit pun terbelah dan sinar yang jauh lebih terang memancar dari atas sana. Burung Cekakak buru-buru terbang, tak sanggup menahan silau.
Malaikat yang dipanggil Andel itu tampak terkejut melihat deretan anak tangga dari langit tercipta. Tak lama kemudian bertambah-tambah kekagetannya karena sosok yang sangat ia hormati muncul menampakkan diri menuruni bumi. “Ya-Yang Mulia?” raut muka Andel terlihat jelas tak percaya.
Sosok tua dan berwibawa itu berjalan sambil mengulas senyum. Melangkah elegan dengan jubah berwarna keemasan.
Masih saja rasanya sama buat Andel, melihat yang dihormatinya datang ke arahnya seolah menerima kado terindah di dalam hidup. Yang Mulia adalah sosok pemimpin sekaligus orangtua, yang penuh cinta dan tak pernah punah.
“Jadi di sini tempat barumu menyendiri,” ucap Yang Mulia dikala ia telah berdiri tepat di hadapan Andel. “Memang indah dan menenangkan.”
Andel hanya terdiam, memberi senyum sejenak lalu kembali menundukkan wajah menjaga sikap hormat.
“Aku tidak punya banyak waktu untuk mengatakanya. Sebentar lagi para malaikat akan berkumpul.”
Andel terlihat bingung, bertanya-tanya apa yang akan dikatakan Yang Mulia di waktunya yang sempit bahkan sampai-sampai mendatangi tempat kesendiriannya. “Iya Yang Mulia,” sahut Andel penuh kepatuhan.
“Aku yakin kau sudah mengira untuk apa aku mengumpulkan para malaikat.”
Andel lagi-lagi terdiam, menyimak penuh saksama.
“Aku akan memberikan salah satu dari kalian sebuah misi besar. Yaitu ... menghancurkan dua kejayaan – kejayaan keluarga Jorell dan kejayaan kerajaan Grazian.”
Keterkejutan Andel meluap, “mereka?! Kelompok tersesat itu?! Jadi ini sudah saatnya, Yang Mulia?”
“Ya, Andel. Manusia terpilih telah terlahir kembali. Manusia yang mewakili alam nyata untuk merobohkan keluarga Jorell. Hanya dia yang berani untuk menentang mereka. Maka aku akan memilih seorang malaikat untuk menemaninya, mengantarkan misi kepadanya.”
“Wah, dia akan menjadi pahlawan suatu hari nanti. Lalu di mana bayi mungil itu terlahir, Yang Mulia?”
“Dia bahkan sudah tumbuh dewasa.”
“Apa! Kenapa kami tidak pernah mendengar kelahirannya?”
“Kerahasiaan ini harus tetap dijaga hingga perang tiba. Kami para malaikat tertinggi tidak ingin berita ini sampai terdengar oleh makhluk yang tidak bertanggung jawab. Misi ini harus berhasil. Jika kesempatan ini terlewati, akan semakin banyak jiwa tersesat yang menuhankan Osbert. Raja itu harus mengakhiri permainannya.”