“Kakak, kalau nanti aku sudah tinggal dengan bibi Molly jangan selalu membuat ibu marah.”
Soa tertegun mendengar ucapan Ken.
“Wah, kau terlihat manis ketika mengkhawatirkanku, Ken.” Soa masih menganggap pembicaraan itu hal yang ringan.
“Aku sungguh-sungguh tidak ingin kakak di pukul ibu,” suara Ken terdengar lesu.
Soa lantas mengangkat tubuh Ken yang terbaring di pangkuan untuk duduk menghadapnya. Sorot mata mereka saling bertemu, mencari sebuah kepastian bahwa kehidupan mereka akan berlanjut baik-baik saja meski perpisahan menjadi sebuah takdir yang tak dapat dilawan.
“Aku akan baik-baik saja,” Soa berusaha menenangkan. Sayangnya, itu tak mengubah sedikit pun raut muka Ken yang masih terlihat tak berseri.
Tidak mau adiknya sendu begitu, Soa mencondongkan diri mendekati telinga Ken. “Kau mau kuberitahu rahasia?”
Dahi Ken terangkat. “Apa itu?”
Soa merasa harus berhati-hati, pandangannya mengedar memastikan tak ada seorang pun selain mereka berdua. Ia melanjutkan bisikannya, meski akan terdengar sangat pelan namun kedua tangannya spontan tetap menjaga suara yang keluar dari mulutnya agar dinding tak sedikit pun merekam. “Sebetulnya pukulan ibu itu lemah,” lanjutnya. “Rasanya hanya seperti ketika ... oh ya! perutmu digigit semut. Iya, seperti itu rasanya. Aku hanya berpura-pura kesakitan agar ibu tidak membuang-buang tenaga saja.”
“Hah?!” Ken terheran-heran. Ia tidak mengira kakaknya akan bertindak dramatis begitu, namun ia tetap lanjut menyelidik. “Tapi pernah kulihat badanmu memar?”
Soa tampak sudah siap dengan rasa penasaran Ken. “Itu bukan apa-apa, hanya sebuah reaksi kulit. Kau mengerti kan reaksi kulit? Seperti nyamuk yang meninggalkan bentol.” Soa masih terus mencari alasan agar tak ada lagi kekhawatiran. “Maka pukulan itu sangat wajar meninggalkan memar.”
Dahi Ken mengerut berusaha mencerna perkataan kakaknya. Soa berharap kalau penjelasan itu sudah cukup. “Hmm, nyamuk meninggalkan bentol dan rasanya gatal. Pukulan meninggalkan memar dan rasanya bukankah berarti sangat sakit?”
Soa mendesah, ia mengakui memang adiknya lebih cerdas dari padanya. “Sudah kubilang hanya sekelas semut. Sudahlah, kau belum bisa mengerti. Aku ini kebal!”
“Kebal? Apa lagi itu?”
Begitulah terus, apa pun yang menjadi jawaban Soa selalu melahirkan pertanyaan baru dari Ken. “Kebal itu ...” Soa menggaruk-garuk kepalanya. “Kau tidak akan merasa sakit jika dilukai orang lain. Tahan banting, tahan pukulan, dan tahan benturan.”
“Oh, itu seperti Logan,” terka Ken lugu.
“Logan? Oh ya, seperti Logan jagoan kesukaanmu itu.”