Tidak perlu mandi agar menghemat waktu, begitu pikir Soa. Ia putuskan hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Omelan Gensi karena keterlambatannya bisa lebih mengganggu dari pada bau badannya sendiri.
Ia tidak sempat berlama-lama mempertimbangkan setelan apa yang sangat ingin ia kenakan untuk memulai Senin di awal bulan. Langsung saja tangannya meraih celana jeans dan jaket Hoodie berwarna putih. Bahkan ia tidak mengambil roti untuk mengganjal perut. Sepatu kets yang baru dicuci sudah menanti di depan pintu, segera ia tancapkan kaki, mengikat tali sepatu kuat-kuat, takut kalau berlari kencang sepatu itu akan terbang.
“Ayah, Ibu, aku berangkat ... ” teriaknya sambil menggantungkan tas selempang di bahu. Gadis itu bergegas mengambil seribu langkah menuju halte bus.
Di sepanjang jalan keluar dari pemukiman rumahnya, beberapa kali ia menyapa tetangga yang dikenal. “Kau terlambat lagi, Soa?” paman Jun yang asyik mengelap sepeda melihat Soa melewati depan rumahnya.
“Begitulah, Paman. Dah Paman,” balas Soa singkat. Sesingkat itu juga yang ia katakan kepada tetangga lainnya jika mereka bertanya.
***
Setibanya di restoran.
“Kau terlambat lagi!” Gensi langsung menyambutnya dengan keluhan. Tersembunyi kebosanan di benak Soa mendengar kata-kata itu. Karena sepanjang perjalanan bukan hanya Gensi yang berseru begitu kepadanya.
“Maaf,” hanya itu yang Soa utarakan. Ia tidak ingin membahas lebih lanjut. Segera ia menyimpan tasnya di loker lalu menuju dapur dan menggunakan celemek.
Restoran sederhana milik mereka belum dibuka, tentu saja suasana sangat mendukung untuk Gensi meluapkan amarah, tidak ada pelanggan yang akan mendengar. Jadi itu tidak akan mempengaruhi citra restoran mereka. Soa tahu ini sudah menjadi risiko keterlambatannya, hanya perlu memberi beberapa menit untuk Gensi mengomel dan setelahnya mereka akan kembali normal, begitu pikirnya. Namun hari itu berbeda dari hari sebelumnya yang pernah terjadi, ada sederet persoalan lain yang turut Gensi kaitkan bersama keterlambatan adiknya.