Edzard langsung menahan Gensi sekuat tenaga yang menyongsong Soa penuh murka. “Tahan sayang ... sabar!”
Soa tak berkutik sama sekali, bahkan tak berusaha menghindar apa lagi membantu perjuangan Edzard menahan Gensi. Ia cuek, membisu tenggelam dalam pikirannya.
“Kau lihat! Kalau tidak ada kakak iparmu rambutmu sudah habis kujambak!” Gensi berusaha mengendalikan diri dan mencoba mengatur nafas kembali. Ia pijat kepalanya yang mulai terasa pening.
“Aku yang akan menafkahi Ken,” Soa berkata tiba-tiba.
Gensi dan Edzard saling memandang heran. Seketika saja tawa Gensi pecah, sementara Edzard memilih tersenyum sembunyi-sembunyi, mereka memang kompak untuk meremehkan. “Usahamu akan sia-sia. Kau bisa apa? Memberi dia sekolah yang bagus? Guru biola yang hebat? Mainan yang banyak? Pakaian indah? Fasilitas apa yang bisa kau beri?”
Soa terperangah mendengar pertanyaan Gensi. Ia tak percaya, kakaknya meremehkan niat baik adiknya sendiri.
“Oo ... restoran ini. Apa kau mengharapkan kesejahteraan dari restoran ini? Hah, Itu pengharapan yang sangat konyol!” Gensi masih ingin menyepelekan.
“Tidak! Aku bisa mencari pekerjaan di tempat lain.”
“Dengan mengandalkan ijazahmu yang hanya tamatan SMA?! Paling-paling kau hanya menjadi pelayan kafe. Apa kau lupa kau tinggal di mana? Dengan gaji sebagai pelayan, untuk semua kebutuhan dirimu saja sulit terpenuhi apa lagi untuk menanggung kesejahteraan Ken.”
“Kau tidak akan bisa tahu nasib orang di masa depan, Gensi!”
“Aku hanya sedang membicarakan nasib orang-orang yang telah melewati jalan yang kau inginkan lebih dulu. Sebelum kau sama kecewanya dengan mereka!”
Soa mendadak hening.
“Jangan kau bohongi Ken dan dirimu sendiri, Soa. Anak itu harus mendapatkan sekolah terbaik untuk masa depannya. Memang ia akan memulai semua ini dengan tangisan, tapi percayalah padaku kalau semua itu akan berlalu dan kemudian Ken akan tersadar dengan sendirinya, bahwa dia adalah anak yang sangat beruntung di dunia ini.”