Gensi menghela nafasnya, berusaha untuk tetap sabar. “Inilah sebabnya kenapa aku marah-marah, kau selalu bersikap tak acuh. Kau hanya sekedar tahu kalau bibi Molly akan membebaskan hutang Ayah jika diizinkan mengasuh Ken. Lalu dengan gagah berani kau menjanjikan pada anak itu akan mencegahnya."
Dahi Soa mengerut, belum paham dengan maksud kakaknya.
Gensi kemudian menarik kursi, lalu duduk tepat di depan Soa. “Sebenarnya bibi Molly sudah dua kali memberi tempo tambahan, dan memberi tempo bukan berarti menghentikan suku bunga.” Soa lagi-lagi dibuat terperanjat oleh ucapan Gensi. “Jika saat kau datang dia setuju memberi waktu lagi, kita hanya akan berputar pada masalah yang sama, Soa. Bekerja mengandalkan restoran hanya untuk melunasi hutang serta bunganya yang terus menggulung. Entah berapa lama lagi kita bisa bertahan? Sementara kau tahu sendiri berapa keuntungan restoran yang bisa kita dapatkan belakangan ini.
“Jika tempo lagi-lagi habis dan uang yang dikumpulkan belum juga cukup untuk melunasi, pada akhirnya bisa saja kita tetap harus membayar dengan restoran dan rumah kita, dan terlambatnya! Nilai kedua harta itu sudah tidak cukup untuk menutupi, karena bunganya sudah terlanjur menggunung. Kita semakin jatuh ke dasar jurang, kehilangan restoran, rumah, lalu harus tidur di jalan.”
“Tidur di jalan?!”
“Ya. Itu bisa saja terjadi jika kau kehilangan tempat tinggal. Lalu kita akan menjadi buruh untuk bertahan hidup sekaligus masih harus melunasi sisa tagihannya. Oh, ada satu hal lagi!”
Soa menghela nafasnya, semakin merasa mumet. “Apa lagi Gensi?”
“Sayangnya, sisa hutang itu masih juga tetap berbunga.”
“Apa! Ini gila.”
Gensi mengangguk sepakat.
Soa ikut merasa ketakutan dengan segala risiko yang diberitahukan Gensi. “Ini lingkaran setan Gensi! Kita harus menghentikannya. Kalau risiko di masa depan seperti itu, bukankah ini saat yang tepat untuk kita melepaskan restoran dan rumah tanpa harus mengorbankan Ken?"
Gensi mulai menikmati antusias adiknya mencari jalan keluar. Tersembunyi keinginan di hatinya untuk menggali apa yang Soa pikirkan.
“Ini memang berat,” lanjut Soa melemah. “Setelah melepaskannya kita tetap harus menjadi buruh, dan tidak punya tempat tinggal.”