Hari sudah memasuki sore, tidak jauh dari restoran ada sebuah taman yang biasa Soa kunjungi, sebut saja Taman Kota Melvin. Gadis itu sengaja meninggalkan tugasnya yang telah berkurang untuk mencari udara segar.
Soa terduduk di kursi taman seorang diri. Pikirannya melambung tinggi, terngiang-ngiang racauan Gensi yang sulit untuk ia tepis. Mencari-cari jawaban atas pertanyaan dalam kepalanya, tentang apa yang harus ia katakan kepada Ken?
Sebetulnya Soa masih ingin ada di pihak adik kecilnya, tetapi keadaan mengharuskannya memilih sepihak dengan orang tua dan kakaknya. Dan separuh hatinya masih memiliki harapan, agar bisa menemukan cara lain yang membuat mereka tidak harus berpisah sekaligus bisa melunasi semua hutang.
“Uang! Seharusnya aku punya banyak uang,” begitu keluhnya seorang diri.
Soa tidak ingin kehilangan Ken, tetapi ia juga mengakui jika Ken berada bersamanya adalah sebuah kepastian bahwa anak itu akan mengalami banyak kesulitan. Tentu saja akan jauh berbeda jika Ken bersama dengan orang tua asuhnya. Alasan dari ayahnya memang menjadi hal yang masuk akal.
Terbayang wajah lugu Ken dengan tatapan bola matanya yang bulat. Soa masih ingat betul bagaimana sebuah senyum merekah dari bibir mungil adiknya yang mendengar harapan baru bahwa ia tidak harus pergi. Soa dihanyut rasa bersalah, wajahnya tertunduk lemah memeluk penyesalan, tak terasa air matanya menitik, batinnya lantas merintih sendu. “Andai aku mampu, Ken.”
Seketika pusaran angin lembut berbondong menerpa wajah Soa. Angin itu begitu hangat, menarik-narik tiap helai rambut Soa yang sebahu hingga terlihat indah bagai liukkan sebuah tarian. Terasa janggal memang di hari yang mulai mendekati musim dingin.
“Ketemu!” sebuah suara lembut tiba-tiba terdengar di telinga Soa. Soa mengangkat kepalanya spontan mencari asal suara itu. Sekejap ia dibuat kaget, ketika mendapati seorang siswi sekolah menengah atas telah berdiri sekitar tiga meter di depannya. Ia terlihat jelas sedang tersenyum ke arah Soa, namun Soa yang tak yakin langsung celingukan hingga menengok ke belakang, menerka bahwa barang kali siswi itu sedang berbicara dengan orang lain.
“Aku?” tanya Soa kebingungan, setelah tak ada seorang pun yang ia temukan di dekatnya. Siswi itu mengangguk, lalu melangkah semakin mendekati Soa.
“Maaf, aku agak terlambat satu bulan. Ada kendala proses administrasi di langit ke lima, jadi aku baru bisa datang sekarang,” begitu ucapnya tiba-tiba. Rautnya terlihat sangat menyesal, namun tidak merasa bahwa ungkapannya terdengar tidak lazim.
“Hah, langit? Kau turun dari langit?” Soa terheran-heran.
Murid perempuan itu mengangguk lagi. Segera Soa menghadap muka ke atas, ia periksa langit yang jauh di atas kepalanya. Tak lama kemudian dahinya langsung mengerut, benak kepalanya berujar spontan, “Semua masih terlihat normal. Tapi kenapa gadis ini tidak normal?"
“Beraninya kau berkata begitu!” Soa terperanjat hingga menganga. Batinnya mendadak dicamuk ketakutan dan bingung, bagaimana mungkin orang lain bisa tahu komentar tersembunyi dari pikirannya?
“Kau – bi ... bisa membaca pikiranku?” tanya Soa gelagapan.
“Bahkan lebih dari itu,” jawab siswi itu enteng.