Soa melongo, diamatinya raut kesungguhan Andel. “Wah, sebegitu besar perasaan bersalahmu.”
“Aku tidak ingin mengecewakan Tuhan,” jawabnya padat.
Soa mendadak tenggelam dalam pikirannya. Ia betul-betul masih ragu kalau perempuan di depannya adalah malaikat. Tapi kalaupun yang di hadapannya adalah hantu, bagaimana hantu bisa berbuat serba ajaib begitu?
“Kau bahkan lebih mempercayai hantu dari pada keberadaanku.”
Lagi-lagi Soa dibuat kaget. Ia menghela napas dan kali ini memilih menyerah. “Aku betul-betul tidak bisa menyembunyikan apa pun darimu.”
Andel tersenyum. “Aku mengerti kau butuh waktu untuk mempercayaiku. Tapi jangan menolak keberadaanku, sebentar lagi kau akan menghadapi hari-hari yang sangat berat, Soa. Kau akan sangat membutuhkanku.”
“Hah! Kau sudah tahu namaku?!”
“Ya ampun! Masalahmu saja aku tahu apa lagi cuma sekedar namamu.”
Soa menggaruk-garuk kepalanya, ini betul-betul tak bisa diterima logika baginya. Tiba-tiba ia tersentak, kemudian ia tampar berkali-kali kedua pipinya dengan tangannya sendiri.
Andel yang melihatnya sampai geleng-geleng kepala. “Hentikanlah. Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri, ini nyata dan bukan mimpi.”
Perlahan Soa menurunkan tangannya dengan perasaan pasrah.
Melihat ekspresi Soa yang masih kebingungan begitu Andel jadi senyum-senyum sendiri. “Sudah kubilang, aku akan memberimu waktu untuk menerima keadaan ini. Tetapi jangan menolak keberadaanku, semakin kau menolakku, semakin aku akan mengejarmu. Kau paham kan?”
Soa mengangguk lemah tanpa antusias. “Baiklah, Andel. Aku tidak akan menolakmu lagi. Sekarang biarkan aku pergi,” pintanya masih ada sedikit rasa tak percaya.
Andel terdiam sejenak, berpikir bagaimana lagi ia akan membuat gadis manusia itu percaya. Belum sempat ia berkata untuk melanjutkan, Soa langsung menyelanya. “Kakakku pasti sudah menungguku.”
Kali ini, Andel memutuskan untuk mengalah.
***