“Wah, itu ide bagus!” Edzard bersemangat menyambut penawaran itu. “Sayang, kita bisa jalan-jalan sebentar sebelum pulang ke rumah,” lanjutnya pada Gensi.
Gensi melirik Soa. “Mana mau anak itu kita tinggalkan. Dia penuh perhitungan,” ucapnya pesimis. “Kau ingat terakhir kali kita meninggalkannya lebih dulu? Ia bekerja semaunya. Dapur masih sangat kotor dan itu membuat pekerjaan kita besoknya jadi bertambah.”
Edzard turut mengingat kenangan itu, ia pun jadi ikut meragu.
“Tidak perlu khawatir, aku kan ada. Akan kupastikan semuanya beres,” Andel berujar penuh kesungguhan. Ia menepuk lengan Soa, lalu bertanya memastikan, “Kau setuju kan Soa?” Soa langsung tersenyum sinis ingin lekas menggeleng. Akan tetapi lagi-lagi tubuhnya terkendali, bukannya menggeleng kepalanya malah mengangguk-angguk.
“Ah, bagus kalau dia setuju,” Edzard berujar riang. Gensi dibuat terkejut seolah sedang melihat keajaiban terjadi. Sementara Soa, tercengang dan terpaksa menikmati.
Tak lama berselang, sepasang suami istri itu akhirnya pulang lebih dulu. Tepat setelah mereka meninggalkan pintu restoran, lidah Soa yang kaku baru bisa digerakkan.
“JANGAN MEMBUNTUTIKU TERUS!” ia langsung berteriak.
“Tidak bisa, kita sudah sepaket,” balas Andel kalem.
“Sepaket kau bilang? Aku sudah tidak menolak keberadaanmu, kenapa kau masih mengejarku?!”
“Aku tidak mengejarmu, aku hanya mendampingimu.”
Soa mendesah, tak tahu harus menimpali apa. “Kau sungguh-sungguh akan tidur di kamarku?” tanyanya lagi.
“Tentu, mana mungkin malaikat berbohong.”
“Oh, yeah! Lantas disebut apa semua yang kau katakan pada kakakku tadi?!”
“Oh, itu hanya sebuah strategi.”
Gadis itu berusaha menjaga kesabarannya agar tidak tergerus kejengkelan. “Lalu, sampai kapan kita satu paket?”
Pertanyaan Soa mengubah mimik Andel. “Sampai kau menyadari apa kesalahanmu,” jawabnya penuh keseriusan.