Andel mendengarkan penuh saksama. “Apa yang kau lihat?” tanyanya balik.
Soa terdiam sejenak, mengingat-ingat kembali apa yang telah dilihatnya. “Aku melihat mereka, bahkan aku bisa mengingat nama mereka dengan baik. Sancho yang keji, Norman yang apes seperti ayahku, dan gadis malang bernama Molek. Oh, ada satu lagi, orang suruhan Sancho, aku tidak tahu siapa namanya, tapi kulihat dia bekerja dengan sangat baik.” Andel dibuatnya termangu. Soa mengamati kesan wajah Sang Malaikat yang sibuk berpikir.
Seketika Raut muka Andel berubah, ia mendapati sesuatu. “Itu bukan mimpi biasa,” ucapnya seperti orang yang baru saja memperoleh ilham.
“Bukan mimpi biasa?”
“Itu kenyataan.”
“Sebentar-sebentar, aku tidak mengerti. Sekarang kau bilang itu kenyataan, bagaimana mungkin aku bisa menemukan kenyataan dalam tidurku? Jika apa yang kulihat tadi nyata adanya, bukankah aku jadi seperti orang yang sedang menonton masalah orang lain?”
Andel menjawab dengan sabar. “Memori jiwamu telah terbuka, kau harus mencari tahu apa kaitan takdirmu dengan orang-orang itu.”
“Memori jiwa? Kaitan takdir? Apa lagi itu?”
“Rekam jejak kehidupanmu. Semua tersimpan di sana, seperti kartu memori di telepon genggam. ”
“Jadi maksudmu, orang-orang yang kulihat tadi sungguh hidup?”
“Ya. Dimasa lampau.”
“Lalu kaitan takdir yang kau maksud?”
Andel tertahan sejenak, ingin Soa lebih siap mendengarkan. “Kau ada di antara mereka.”
“Apa!”
Andel mengangguk-angguk.
Mata gadis itu menerawang, pikirannya mencoba menerka-nerka.
“Oh, aku tahu! Kau benar, aku ada bersama mereka, aku tahu di mana diriku,” ucapnya tiba-tiba. Soa terlihat sangat serius membicarakannya.
“Sungguh? Cepat sekali kau mengetahui identitasmu di masa lalu.” Andel begitu takjub.
Soa menggeleng. “Tidak, aku belum tahu identitasku. Aku hanya tahu di mana aku berada. Tetapi sepertinya, dari sana aku bisa menduga aku siapa.”
“Oh ya? Di mana?”
“Di pintu cadangan.”