Restoran beberapa hari ini memang tampak dengan suasana berbeda.
Soa, Gensi, juga Edzard di sibukkan dengan pembeli yang berdatangan, jumlahnya tidak bisa disebut sepi. Sudah sekian lama mereka tidak mengalami pengalaman ini. Begitu banyaknya restoran-restoran baru yang bermunculan membuat restoran keluarga mereka tergerus oleh kompetisi. Padahal keluarga Mannaf selalu berusaha menciptakan menu-menu baru. Sayangnya keberuntungan belum berpihak pada mereka, selalu saja hasilnya tidak memuaskan. Apa yang mereka buat, tidak banyak mengesankan hati pengunjung, hingga datanglah hari di mana semua berubah, menu apa pun yang mereka tawarkan mampu mereka jual.
Soa terlihat sibuk bolak-balik mengantarkan pesanan. Bahkan sesekali ia keluar bersepeda untuk mengirim makanan ke tempat lain yang masih dekat untuk dijangkaunya. Gensi tidak henti-hentinya memasak, Edzard sesekali menggantikan Soa untuk melayani pengunjung atau membantu istrinya membuatkan pesanan. Jam istirahat mereka kini terpakai untuk menghasilkan uang, bahkan makan dan minum untuk diri sendiri pun mereka lakukan sambil bekerja.
Mereka begitu senang dengan pertambahan jumlah uang yang mengalir ke mesin kasir beberapa hari belakangan. Berpikir bahwa semesta sedang memuja mereka. Bahkan beberapa kali Edzard harus menolak pesanan yang diterima melalui telepon. Itu tindakan yang sangat berat untuk Edzard lakukan, ia harus melepaskan kertas-kertas bernilai yang tidak sanggup ditampungnya.
“Ayolah sayang, kita sudah harus memikirkan untuk membuka lowongan kerja,” begitu ucapnya beberapa kali kepada Gensi. Namun istrinya masih belum yakin, apa mereka mampu menggaji pegawai? Bagaimana kalau keramaian ini hanya musiman yang terjadi dalam jangka waktu pendek?
Lain halnya dengan pikiran Soa. Benaknya mulai meyakini, kalau restoran akan terus-terusan berkembang begini Ken tidak perlu lepas dari genggamannya. Ada harapan yang menggema di dalam hati, ingin rasanya ia segera meminta ayahnya untuk berbicara lagi pada bibi Molly agar ia memberi keluarganya tambahan waktu untuk melunasi hutang. Baginya tak apa jika risiko bunga menggulung harus kembali ditanggung, yang penting buatnya, Ken tidak perlu diasuh orang lain dan keluarganya pun tetap memiliki tempat tinggal.
“Kalau ayah tidak mau, aku yang akan bicara langsung pada Bibi Molly,” begitu ujar Soa di dalam hati.
Di dalam keasyikan perenungannya, tiba-tiba saja Soa terperanjat. Wajahnya diterpa oleh angin yang begitu hangat, ia hafal betul dengan tanda-tanda itu. Soa celingak-celinguk mencari-cari. Berpikir barangkali sang malaikat duduk makan di antara para pengunjung restoran. Akan tetapi ia tidak menemukannya.
Lalu ia mencari-cari lagi dengan menatap ke luar jendela. Samar-samar akhirnya ia melihat, sosok manusia cantik berseragam sekolah sedang berdiri mengamati jauh di luar sana. Tanpa pikir panjang, Soa kemudian bergegas keluar restoran dan berlari menghampiri Andel.
“Kau tidak masuk?” tanyanya terkesan lebih akrab dari sebelumnya.
Andel sempat terdiam. Mengamati dengan lekat restoran di hadapannya.
“Aku tidak bisa masuk lagi ke sana,” ucap Andel kemudian, membuat Soa agak kebingungan melihat sikapnya. “Restoranmu sangat ramai,” lanjut Andel.
“Oh, iya,” senyum Soa merekah. “Beberapa hari ini restoran sangat ramai. Semoga saja ini pertanda baik untuk keluargaku,” ucap Soa penuh harap.
Andel masih terpaku dengan sorot mata yang tajam dan terus saja ke arah restoran. Hal itu menarik perhatian Soa mengamati sikapnya yang selalu saja memancing rasa penasaran.
“Bahkan lebih ramai dari yang kau lihat,” pungkas malaikat itu lagi.
Seperti sudah terbiasa menghadapi kalimat Andel yang selalu penuh teka teki, Soa lebih memilih untuk mengunci mulutnya rapat-rapat. Sebetulnya ingin rasanya ia menggali jawaban, tetapi ia urungkan niatnya ketika teringat akan satu hal, pada akhirnya ia harus menemukan jawaban itu sendiri. Tidak mau pikirannya mumet karena bahasa komunikasinya dengan sang malaikat, tiba-tiba saja Soa tertarik pada sisi lain.